Siapakah yang layak disebut sebagai mahasiswa berprestasi?
Apakah mereka yang memperoleh banyak medali, memenangkan berbagai
perlombaan, dipuja banyak orang, dan sering tampil di hadapan publik
dengan berjuta pesona yang membuat manusia terpukau kagum?
Barangkali kalau kita menyerap kata ‘prestasi’ persis dengan kata asal
serapannya, jawabannya akan seperti itu. Prestasi berasal dari kata
prestise yang berarti kebanggaan. Dengan kata lain setiap pekerjaan yang
bisa membuat orang lain dan diri sendiri bangga, itu sudah layak
disebut prestasi.
Mahasiswa berprestasi membanggakan para dosen dan melambungkan reputasi
institusi. Mereka menjadi figur panutan yang dianggap lebih unggul
daripada mahasiswa yang lain. Mereka juga mampu menarik perhatian dunia
dengan kemampuan ‘istimewa’ mereka. Persis seperti magnet yang menarik
besi-besi tak bermuatan.
Sayangnya, kata ‘prestasi’ yang ada pada bahasa Indonesia sangatlah
sempit jika digunakan untuk menguraikan makna “prestasi” yang
sesungguhnya.
Prestasi tidak hanya terbatas pada kemampuan memenangkan berbagai macam
perlombaan, atau sekedar memiliki pengagum yang banyak. Prestasi adalah
sebuah kerja nyata untuk masyarakat baik itu secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, dan dilakukan dengan teguh dan terus menerus.
Karenanya, janganlah terlalu fokus mengejar prestasi. Mengapa? Lagi-lagi
kita perlu mengembalikan makna asal dari prestasi, yaitu prestise
(kebanggaan). Kalau asal bangga tetapi tidak diiringi dengan kerja nyata
untuk masyarakat, maka itu adalah prestasi semu. Seharusnya sebagai
mahasiswa kita fokus untuk mengejar kontribusi, bukan lagi ‘sekedar’
prestasi.
Dengan memperbanyak kontribusi, semakin besar peluang kita untuk meraih
prestasi. Meskipun nantinya tidak ada piala dan medali yang disematkan
kepada kita, setidaknya orang lain bisa merasakan manfaat dari apa yang
kita kerjakan. Jika mentok tidak ada yang memberikan apresiasi atas
kinerja kita, tidak ada yang menganggapnya, apalagi menghargainya, kita
perlu meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui atas segara sesuatu.
Cukuplah deretan piala itu menghiasi etalase-etalase di ruang tamu rumah
kita. Itu hanyalah simbol yang bisa lenyap dan hancur. Yang mengabadi
adalah kontribusi kita untuk masyarakat dan untuk seluruh umat manusia.
Itulah prestasi yang sesungguhnya.
Sebuah Prioritas
Jangan salah sangka dengan pernyataan saya pada pembahasan sebelumnya.
Tidak ada niatan untuk mendiskreditkan mereka yang ber-‘prestasi’,
karena prestasi merupakan hal yang wajar untuk dikejar. Bahkan Islam
menganjurkan agar pemeluknya untuk senantiasa berlomba-lomba dalam
kebaikan.
Barangkali perlu diingatkan kepada mereka para peraih prestasi –temasuk
diri saya sendiri-, bahwa prestise (kebanggaan) hanyalah sekelumit
dampak yang bisa kita ambil dari ranah kontribusi yang begitu luas. Bisa
jadi orang tidak bangga dengan pekerjaan kita, tetapi ada ungkapan yang
lebih tinggi dari hanya sekedar bangga.
Kita tidak akan bangga dengan apa yang dilakukan oleh para petani,
tetapi kita sangat menghargainya. Para korban bencana alam memang tidak
bangga dengan apa yang dilakukan oleh para relawan, namun mereka sudah
pada tingkatan haru. Seorang anak yang memiliki orang tua penyayang,
tidak hanya bangga dengan ibu-bapaknya. Dia merasa sangat beruntung.
Seorang pasangan suami-istri yang saling memadu kasih, tidak hanya
merasa bangga satu sama lain. Lebih dari itu, mereka sama-sama merasakan
kebahagiaan.
Sebaliknya, tidak selamanya kebanggaan itu membawa dampak yang baik.
Kita bisa melihat fenomena suporter sepak bola yang ada di Indonesia.
Karena kebanggan yang berlebih, para suporter rela berdesak-desakan di
tribun penonton, hanya untuk melihat tim mereka berprestasi. Kalau tim
kesayangan mereka mendapatkan juara, mereka akan berpawai di jalan-jalan
untuk meluapkan kegembiraan.
Lantas, adakah dampak signifikan bagi mereka setelah tim yang mereka
bangga-banggakan meraih prestasi? Barangkali tidak ada. Bahkan tidak
sedikit dari kejadian-kejadian itu yang membawa petaka. Mulai dari
luka-luka sampai hilangnya nyawa.
Sebenarnya kalau mahasiswa ingin berprestasi, tidak perlu memikirkan
sejauh itu. Yang ditekankan di sini adalah masih banyak yang perlu kita
raih daripada sekedar kebanggaan.
Untuk meraih prestasi yang benar-benar ‘prestasi’, maka jadilah seperti
nasi. Dia merupakan makanan pokok yang dibutuhkan oleh semua orang.
Tidak seperti obat ataupun racun. Obat memang menyembuhkan, tetapi ia
hanya dibutuhkan pada saat-saat tertentu saja. Pada saat yang lain, ia
bisa menjadi zat yang berbahaya untuk dikonsumsi. Apalagi racun, tidak
ada yang mau meminumnya kecuali orang-orang depresi yang sudah tidak
tahan hidup di dunia ini.
“…sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.” (HR Bukhari)
Kita mendapati bahwa prioritas utama kita dalam berkontribusi adalah
kemanfaatan bagi orang lain. Untuk apa kita berpayah-payah berprestasi
sedangkan masih banyak urusan umat yang belum terselesaikan? Untuk apa
berpayah-payah berprestasi sedangkan dampaknya hanya terhenti pada taraf
bangga? Sekali lagi bukan untuk mendiskreditkan mereka yang
berprestasi. Hanya kembali mengingatkan bahwa masih banyak yang perlu
kita raih daripada sekedar kebanggaan.
Setelah Paham, Berprestasilah!
Saya takut setelah membaca tulisan pada pembahasan sebelumnya jadi
banyak di antara kita yang enggan mengikuti perlombaan dan kompetisi
dengan alasan, “yang penting kontribusi”. Sungguh, saya sama sekali
tidak berniat untuk menghambat potensi berprestasi yang kita miliki.
Saya hanya ingin mengubah mindset dari semangat berprestasi kita.
Setiap manusia memiliki potensi untuk berprestasi. Ketika kita ingin
mengejar sebuah prestasi, sebenarnya yang kita kejar adalah potensi yang
ada pada diri kita sendiri. Jadi tidak ada alasan untuk tidak
berprestasi. Kuncinya, “Perbanyak kontribusi, prestasi akan mengikuti.”
Semoga mencerahkan.
0 comments: (+add yours?)
Post a Comment