Etos pertama: kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh
kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima
tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya
sepeser pun.
Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah.
Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan
kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih
banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan
jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah- ogahan.
Etos ke-dua: kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR,
semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko.
Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah
dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan
menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
Etos ke-tiga: kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma.
Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat
memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma
untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang
darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat.
Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa
berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!” Dengan begitu kita tidak
akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
Etos ke-empat: kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya
bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap
merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita
merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan
daripada duduk bengong tanpa pekerjaan.
Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial
manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan
rasa pede ketika berjumpa koleganya. “Perkenalkan, nama saya Miftah,
dari Bank Kemilau.” Keren `kan?
Etos kelima: kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang
halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita
bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata.
Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:
Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir
sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat
dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang.
Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah
di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang tak bisa
menikmatinya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah
berubah menjadi motivasi transendental.
Warisan tak ternilai
Etos keenam: kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni.
Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya
melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan
peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan
sains paling bergengsi itu adalah karena dia bisa menikmati
pekerjaannya.
“Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di
laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah
seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus- rumus fisika
yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.
Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa
menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar
akan datang kepada kita.
Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan
Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di
Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah
kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya
sastra kelas dunia.
Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.
Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua
sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi
kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti
menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen,
sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji
oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya.
Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah
meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km!
Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur.
Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang
membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di
Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras
yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.
“Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik,” kata Jansen.
sumber: 8 Etos Kerja Profesional - Buku bestseller karya Jansen Sinamo
0 comments: (+add yours?)
Post a Comment