Realita adalah realita. kenyataan tidak
bisa direduksi dari satu sisi saja, entah itu sisi positif atau negatifnya.
Orang yang hanya membicarakan realita sebagai wacana yang selalu positif adalah
orang yang munafik, penjilat yang menutupi hitam-putih kenyataan. Tentu yang
mereka lakukan adalah demi kepentingan. Realita tidak pernah bohong kepada
manusia. Ia selalu jujur. Jujur kalau memang realita adalah ruang yang penuh
dengan problem, mulai yang sederhana hingga yang paling kompleks yang susah
dipecahkan. Kita tidak bisa hanya melihat realita sebagai hal-hal yang indah
dan menyenangkan saja, yang seperti ini tak ubahnya dengan hanya impian. Impian
yang mengafirmasi realita sekitar dengan hal-hal positif sesuai kehendak
berpikir kita sebagai subjek. Juga sangat tolol orang-orang yang menganggap
realita sebagai ruang kejam yang menakutkan yang didalamnya terdapat problem
yang rumit dan tak terpecahkan.
Realita
adalah panggung sandiwara kebaikan dan keburukan, bahkan melampaui semua itu.
Ada cinta dalam realita, ada benci
juga. Ada kemarahan, ada kasih sayang. Panggung realita disediakan bagi manusia
dengan berbagai kemungkinan alam pikirnya. Untuk orang tolol atau untuk orang
cerdas. Memilih menjadi orang tolol atau orang cerdas adalah keputusan
eksistensialis manusia. Tidak ada yang berhak menjustifikasi seseorang apakah
dia tolol atau cerdas sebenarnya. Justigikasi itu adalah konstruksi sosial dari
masyarakat yang terbiasa dengan kewajaran. Kewajaran tentang gaya hidup dan
gaya berpikir. Realita menyediakan tempat bagi semua jenis orang dengan semua
jenis gaya berpikir, tidak melulu untuk orang tolol ataupun orang cerdas.
Semuanya disediakan tempat oleh realita.
Hanya saja, para pendobrak realita
sering kali tidak muncul dari kalangan orang kebanyakan yang hidup dengan penuh
kewajaran. Pendobrak kebenaran dalam realita senantiasa unik dan berpikir
dengan cara yang tidak wajar, sebuah cara yang tidak dimiliki orang kebanyakan.
Realita tidak bisa ditutup-tutupi
dengan kalimat-kalimat motifasi. Premis motifasi tidak menunjukkan kebenaran,
ia hanya mengarahkan pada kehendak tertentu. menjadi kehendak kebaikan jika
motifasi itu diarahkan untuk kebaikan, menjadi kehendak keburukan jika motifasi
itu diarahkan untuk keburukan. Dunia sepenuhnya mengandung nilai kejujuran yang
tidak bisa direduksi, namun juga tidak bisa dijelaskan apa adanya sebagai das
ding an sich (meminjam istilah Kant). Dunia selalu dinilai oleh manusia dengan
cara berpikir mereka menghadapi realita. Cara pandang manusia terhadap dunia
tidak bisa murni 100% benar sesuai apa yang ia lihat dan dilihat orang lain.
Manusia melihat dunia selalu sebagai konteks atau sebagai fragmen tertentu yang
paling pas di hatinya, paling sesuai dengan yang ada dalam anggapan
berpikirnya. Fragmen itu seperti kaca mata berwarna, akan hijau jika
kacamatanya berwarna hijau, akan merah jika kacamata itu berwarna merah.
Realita berwarna hijau jika manusia memahami dunianya dengan perspektif
kacamata hijau. Demikianlah seterusnya.
Bukankah keseluruhan kenyataan memang
terlalu rumit untuk dijelaskan? Tentu saja. Manusia itu terbatas pada
kemampuannya memahami realita dengan kacamatanya. Kalau kita ingin menjadi
manusia yang memahami kenyataan secara lebih ‘kaya’ dari orang kebanyakan
(orang yang hanya menggunakan satu atau dua kacamata-perspektif), maka kita
harus banyak mengoleksi kacamata dengan berbagai warna. Jujur pada dunia,
berdamai dengan kehidupan. Kita hadapi kenyataan dengan sifat manusia yang
sebenar-benarnya, coba pahami dunia dengan perspektif yang lebih luas, agar
diri tidak terkungkung dalam sempitnya pemahaman yang diberikan satu macam
kacamata warna.
0 comments: (+add yours?)
Post a Comment