“Dilihat dari faktor kemauan untuk maju, saya mengelompokkan guru menjadi tiga jenis. Pertama, guru robot,
yaitu guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk kelas,
mengajar, lalu pulang. Mereka hanya peduli pada beban materi yang harus
disampaikan kepada siswa. Kedua, guru materialistis,
yaitu guru yang selalu melakukan perhitungan mirip dengan aktivitas
bisnis jual beli. Parahnya yang dijadikan patokan adalah hak yang mereka
terima, barulah kewajiban dilaksanakan sesuai hak yang mereka terima.
Ketiga, gurunya manusia, yaitu guru yang memiliki
keikhlasan dalam belajar dan mengajar. Guru yang punya keyakinan bahwa
target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami
materi-materi yang diajarkan” (Munif Chatib dalam buku “Gurunya
Manusia”, Kaifa, Jakarta, 2011, halaman 64).
Saya memang menyukai bukunya Munif Chatib, karena
sangat inspiratif bagi saya. Dua tulisan saya sebelumnya, semua juga
mengutip dan mangambil inspirasi dari buku bang Munif, untuk saya bawa
ke dalam pembahasan tentang pendidikan di dalam keluarga. Hal ini karena
saya sangat meyakini bahwa perbaikan bangsa dimulai dari pendidikan,
dan pendidikan dimulai dari rumah dan sekolah.
Orang Tua Robot, Orang Tua Materialistis
Ketika Munif mengelompokkan guru menjadi tiga
jenis, yaitu guru robot, guru materialis dan gurunya manusia, maka dalam
kehidupan keluarga, orang tuapun bisa dikelompokkan serupa itu. Orang
tua adalah guru dan pendidik pertama dan utama di dalam kehidupan rumah
tangga. Maka ada tipe orang tua robot, orang tua materialistis, dan
orang tuanya manusia.
Orang tua robot adalah ayah dan
ibu yang bertindak seperti robot, tanpa perasaan. Bekerja mekanis : ayah
bekerja mencari nafkah, ibu mengurus rumah tangga. Ayah pulang kerja,
masuk rumah, membaca koran, nonton TV, makan, doa dan tidur. Ibu
memasak, mencuci baju, membersihkan rumah, menyiapkan sarapan sebelum
anak-anak berangkat sekolah, membaca tabloid, nonton sinetron, doa
dan tidur.
Tidak ada kehangatan di dalam keluarga tersebut,
yang ada adalah suasana formal dan sangat kaku. Tidak ada kelembutan dan
membuncahnya cinta dan kasih sayang. Yang lebih tampak adalah suasana
saling asing di antara suami, isteri, dan anak-anak. Mereka berinteraksi
secara formal dan tidak tampak suasana keharmonisan sebuah keluarga,
karena lebih dominan suasana kesibukan masing-masing anggota keluarga,
seakan mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ikatan
kekeluargaan.
Ayah dan ibu tidak mengerti mengapa anaknya
menangis. Ayah merasa sudah menunaikan kewajibannya, namun ternyata anak
masih merajuk. Ibu merasa sudah menyiapkan keperluan sekolah anak,
namun anak masih malas berangkat sekolah. Mereka tidak memahami bahasa
perasaan, tidak mengerti bahasa hati, yang diketahui adalah bahasa
kegiatan dan perbuatan praktis.
Orang tua materialis adalah ayah
dan ibu yang selalu menjadikan materi sebagai tolok ukur segala sesuatu.
Sejak kecil saat anak menangis, yang terpikir adalah “ia memerlukan
makanan atau mainan apa?” Begitu anak menangis, pertanyaan ibu adalah,
“Mau apa nak ? Jelly, atau Chiki ?” Pertanyaan ayah adalah, “Ayo kita
beli mainan, kamu pengin mainan apa?” Mereka berpikir bahwa anak akan
diam jika mendapat pemenuhan materi.
Ayah merasa sudah menjadi orang tua hanya karena
memberikan keperluan material bagi anak-anak. Ia bekerja mencari nafkah,
agar bisa memberikan kecukupan makan, pakaian dan papan bagi keluarga.
Membayar uang sekolah anak-anak, membiayai kesenangan anak-anak,
membelikan handphone, laptop, pulsa, blackberry, dan seterusnya.
Membayar keperluan kesehatan, membiayai keperluan rekreasi, mencukupi
sarana transportasi, seperti motor, mobil dan segala asesorisnya.
Ibu merasa sudah menjadi orang tua hanya karena
mencukupi keperluan sekolah dan bermain anak-anak. Ibu sudah memenuhi
belanja untuk anak-anak. Memasakkan berbagai makanan yang disenangi
anak. Membelikan makanan dan minuman kesukaan anak-anak. Membelikan
seragam sekolah anak, membelikan buku-buku pelajaran anak. Mengajak
anak-anak untuk mengikuti berbagai kursus dan bimbingan belajar.
Orang Tuanya Manusia
Sedangkan orang tuanya manusia
adalah ayah dan ibu yang terus menerus berusaha untuk mendidik anak
dengan sepenuh hati. Selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi
anak-anak, selalu berusaha menyayangi anak dan mengarahkan mereka menuju
kebaikan. Orang tua yang selalu belajar dan meningkatkan kapasitas diri
agar menjadi ayah dan ibu yang unggul dan tangguh dalam mendidik dan
membersamai proses tumbuh kembang anak-anak.
Ketika anak menangis, orang tua memahami bahwa yang
diperlukan adalah perhatian dan kasih sayang. Ketika anak merajuk,
orang tua memahami bahwa yang diperlukan adalah sentuhan hati dari ayah
dan ibu, bukan sentuhan materi. Orang tuanya manusia memahami bahwa ada
kewajiban yang tidak sekedar materi, lebih dari itu orang tua harus
memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual, kebutuhan intelektual,
percontohan moral, dan dukungan amal.
Orang tuanya manusia merasakan dengan hati, menyapa
penuh kelembutan, mendorong penuh motivasi, menyentuh dengan perasaan.
Ayah dan ibu yang selalu berusaha memberikan ketaladanan dalam
kehidupan, selalu berusaha mencetak generasi yang mengerti dan komitmen
terhadap nilai-nilai. Ayah dan ibu yang mengerti bahwa mereka memiliki
kewajiban mengarahkan segenap potensi anak-anak menuju kehidupan yang
penuh berkah, kebahagiaan dan keberhasilan.
Karena anak-anak yang kita lahirkan adalah manusia
dengan segala potensi yang utuh, maka kita tidak boleh menjadikan mereka
sebagai robot, tidak boleh pula menggunakan pendekatan materialistis
dalam berinteraksi dengan anak-anak. Harus melakukan pendekatan dari
hati ke hati, dengan perasaan, dengan bahasa jiwa. Hanya orang tua yang
sadar akan kelengkapan potensi anak-anak ini yang akan bisa
menghantarkan mereka menuju gerbang keberhasilannya.
Konsekuensi logisnya adalah, orang tua seperti ini
harus selalu rela belajar, rela meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
dirinya agar selalu bisa melakukan hal yang tepat dan memberikan hal
terbaik bagi anak-anaknya. Mereka selalu belajar, mencari ilmu,
pengetahuan dan ketrampilan yang bermanfaat bagi upaya mendidik
anak-anak. Orang tua humanis seperti inilah yang akan bisa menjadikan
anak-anak yang sukses dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Semoga kita bisa menjadi orang tuanya manusia, karena anak-anak kita adalah manusia dengan segala potensi yang utuh.
0 comments: (+add yours?)
Post a Comment