Ibuku dan Petuah Sederhananya

Ibu saya suka sekali mendongeng. Kalau anak-anak lain didongengi Kancil Nyolong Timun, beda dengan saya. Ibu selalu mendongengi saya tentang kehidupan. Dengan sabar dia mengulang-ulang dongeng kehidupan laksana air yang melubangi  batu, setetes demi setetes akhirnya si batu pun perlahan berlubang.

Ibu saya hanyalah wanita sederhana, hampir buta huruf karena sekolah SD hanya sampai kelas 5. Beliau lahir di pertengahan tahun ‘60an dimana penghidupan sangat sulit karena banyak kejadian penting terjadi di Indonesia pada tahun-tahun tersebut, tapi itu tidak membuatnya jadi orang yang kolot. Bahkan saya tidak habis pikir darimana dia mendapat ide  mendidik kami anak-anaknya dengan cara yang tidak konvensional.

Saya sebut tidak konvensional karena sejak kami kecil, Ibu selalu menerapkan sistem  demokrasi. Dia juga dapat menempatkan diri sesuai situasi, kadang berjalan di depan kami (jadi tauladan dan pemimpin bagi anak-anaknya), kadang berjalan beriringan dengan kami (jadi sahabat dan tempat curhat) dan juga berjalan di belakang kami (jadi pemandu sorak, pemasok semangat dan dukungan untuk anak-anaknya).

Banyak sekali ajarannya yang masih saya ingat. Dari yang klise sampai ke hal sederhana yang kadang kita lewatkan. Saya tidak tahu secara persis bagaimana dia terpikir dengan hal-hal itu. Mungkin karena hidupnya yang keras? Entahlah.

Nasehat yang paling membekas di ingatan saya adalah ketika Ibu berkata, “Nduk, nanti kalau sudah dewasa jadilah orang yang ngerti. Di dunia banyak sekali orang pintar tapi belum tentu mereka ngerti karena untuk jadi pintar lebih mudah daripada belajar ngerti. Dengan ngerti, kamu dituntut melepas egomu dan lebih memahami orang lain, harus mau  mengalah. Lebih baik lagi kalau kamu bisa jadi orang pintar yang mengerti agar kamu tidak keblinger seperti orang-orang pinter yang suka memintari orang lain.”

Kejujuran juga hal yang harus dipegang teguh menurutnya karena dengan modal jujur, kemana pun kita pergi, di mana pun kita menetap, kita akan selalu dilimpahi keberuntungan dan kemudahan. Hal yang terlihat sepele tapi punya makna dalam dan susah penerapannya. Berapa banyak dari kita yang bisa murni jujur? Jadi orang jujur itu tidak mudah memang tapi bukan tidak mungkin, kan?

Satu hal lagi yang membuat saya bangga padanya, bukan hanya karena dia telah melahirkan dan membesarkan saya  yang menjadikannya wanita teristimewa. Dia seorang pekerja keras yang tak mengenal lelah.  Dia suka membantu orang dan selalu menerapkan motto sepi ing pamrih, rame ing gawe. Satu-satunya pamrih mungkin ketika dia berharap suatu saat jika dia kesusahan, ada yang mau menolongnya seperti dia menolong orang lain. Selflessness :)

Dia juga yang menginspirasi saya untuk tidak berhenti belajar, karena suatu saat nanti saya ingin menjadi wanita yang kuat dan hebat seperti dia. Entah apa saya akan sanggup tapi saya akan berusaha semampu saya. Sisi optimis saya berkata, “Kalau orang lain sanggup, kenapa aku tidak?”.

Tak kan pernah cukup kata-kata untuk mengungkap terimakasihku , Ibu. Selamat Hari Ibu kepadamu , Ibu. Selamat Hari Ibu juga bagi ibu-ibu di Kompasiana. Salutku untuk kalian para wanita cerdas nan perkasa.

Every day is Mother’s Day.

0 comments: (+add yours?)

Post a Comment