Outsourcing

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Pembangunan sekarang ini sudah mulai menunjukkan adanya persaingan keras terutama dalam masalah bisnis. Dimana telah memaksa perusahaan untuk berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan melakukan fokus tersebut, akan dapat dihasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas andal dan memiliki daya saing tinggi dipasar global.
Keputusan pimpinan perusahaan untuk mengalihdayakan atau menyerahkan proses-proses yang merupakan bukan kompetensi utamanya kepihak lain dan kegiatan ini dinamakan outsourcing. Proses outsourcing ini merupakan suatu konsep manajemen yang baru dan merupakan salah satu strategi manajemen untuk bersaing dipasar global.
Dalam kenyataannya proses outsourcing banyak menimbulkan permasalahan dibidang kesejahteraan buruh. Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan oleh pemerhati, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh.

2. PERUMUSAN MASALAH
Agar penulisan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan harapan, serta untuk mempermudah pembahasan, maka penulis merumuskan masalah, yaitu: Ada tidaknya pengaruh proses outsourcing dengan buruh miskin.

3. TUJUAN PENULISAN
Sebagai tujuan, untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari proses outsourcing terhadap kesejahteraan buruh.

4. MANFAAT PENULISAN
Hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna dan beranfaat bagi berbagai pihak, yaitu:
1. Bagi Penulis
Diharapkan dengan melakukan penelitian ini dapat mengetahui perbandingan antara teori yang ada dalam materi perkuliahan dengan kenyataan dan praktek yang terjadi di perusahaan serta menambah pengetahuan dan memperluas wawasan.
2. Bagi Perusahaan
Kegunaan penulisan ini juga untuk memberikan masukan dan sebagai bahan pertimbangan kepada perusahaan dalam melakukan proses bisnis outsourcing.
3. Bagi Mayarakat
Penulis mengharapkan penulisan ini dapat dijadikan masukan atau sebagai pertimbangan dalam mencari kerja dan mampu mengerti proses outsourcing secara jelas. Serta menjadi bahan pembanding untuk penelitian lebih lanjut guna mendukung ilmu pengetahuan dibidang Manajemen Sumber Daya Manusia.


LANDASAN TEORI dan KERANGKA BERPIKIR
1. PENGERTIAN OUTSOURCING

Definisi Outsourcing menurut beberapa pakar:
• Maurice F. Greafer
“Outsourcing is the act of transferring some of company’s recurringinternal activities and decision rights to outside provider, as set forth in a contract. Because the activities are recurring and a contract is used, outsourcing goes beyond the use of consultants. As a matter of practice, not only are the activities transferred, but the factor of production and decision right often are, too. Factors of production are yhe resources that make the activities occur and include people, facilities, equipment, technology, and other assets. Decision rights are responbilities for making decision over certain elements of the activities transferred.”
• Shreeveport Management Consultancy
“The transfer to a third party of the continous management redponbility for provision of a service governed by service level agreement.”
• Eugene Garaventa and Thomas Tellefsen, The College of Island, USA
“Outsourcing can be defined as the constracting out of functions, tasks, or services by an organization for the purpose of reducting its process burden, acquiring a specialized technical expertise, or achieving expense reduction.”
Outsourcing merupakan penyerahan kegiatan suatu bidang pekerjaan kepada perusahaan lain yang memberikan jasa khusus untuk jenis pekerjaan tersebut.

2. PERUSAHAAN OUTSOURCING
Perusahaan outsourcing atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan.
Dalam Kepmen 101/2004 pasal 2 dinyatakan bahwa
(1) Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
(2) Untuk mendapatkan ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, perusahaan menyampaikan permohonan dengan melampirkan:
i. copy pengesahan sebagai badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi;
ii. copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha penyediaan jasa pekerja/buruh;
iii. copy siup;
iv. copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menerbitkan ijin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima.

Bila persyaratan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan tidak dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan (pasal 66 ayat 4 UU Ketenagakerjaan).

3. OUTSOURCING dan UNDANG-UNDANG
Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 secara eksplisip tidak ada istilah outsourcing tetapi praktek outsourcing dimaksud dalam UU ingin dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66.
Praktek outsourcing dalam UU Ketengakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
• Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis;
• Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
o apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama ;
o bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidakkan menghambat proses produksi secara langsung ;dan
o dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Semua persyaran diatas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat dioutsourcingkan.
• Perusahaan penerima pekerjaan harus ber ”badan hukum”. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu ber ”badan hukum” menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan, demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan;
• Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama,sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah.
• Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan di tuangkan dalam Perjanjian Kerja tertulis.Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu ) atau tetap dan bukan kontrak, akan tetapi dapat pula dilakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) /kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsouring tidak selalu dalam bentuk PKWT/Kontrak , apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan atau sama dengan PKWT.
“Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh“ yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing, harus dibedakan dengan “Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta“ (Labour Supplier). Sebagaimana diatur dalam Pasal 35,36,37, dan 38 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yaitu apabila tenaga kerja telah di tempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta tersebut.
Dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh memperkerjakan pekerja /buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh di gunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan di maksud antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman/satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh.
Di samping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.

4. OUTSOURCING dan KEMISKINAN
Kemiskinan yang terjadi sangat dimungkinkan oleh adanya proses outsourcing. Buruh-buruh yang bekerja pada suatu perusahaan (pabrik) dan itu melewati agen tenaga kerja amat sangat menjadi bingung, kenapa?
• Apakah mendapatkan jaminan kesehatan
• Apakah mendapatkan jaminan social
• Dll,
• Tetapi yang utama kepada siapa harus menuntut hal-hal diatas.

Dewasa ini memang sudah sangat jelas dimana perusahaan yang seharusnya memberikan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan lain tetapi justru pekerjanya yang di-outsource-kan.
Para buruh yang menjadi outsource suatu perusahaan memiliki pendapatan yang sangat pas atau bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Seorang buruh yang bekerja di daerah Tangerang dengan penghasilan yang pas-pasan harus menyiasati keuangan agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Pertama, dari transportasi menuju ke lokasi pabrik yang jauh ditempuh dengan jalan kaki; kedua, jatah makan yang seharusnya tiga kali sehari menjadi hanya dua kali sehari; tinggal di kontrakkan/kost yang paling murah walaupun hanya berdinding triplek dan itu berukuran 2 x 3 m, dimana MCK berada diluar dan untuk mandi pun itu juga harus membeli air sehingga mandi itu hanya sehari sekali untuk berhemat. Hal-hal tersebut merupakan salah satu gambaran realita dari kehidupan buruh.

PENUTUP
1. KESIMPULAN

Proses outsourcing telah menyebabkan terjadinya kemiskinan pada buruh. Karena perusahaan hanya memikirkan keuntungan bagi usahanya sendiri.
Dampak Kebijakan Fleksibilisasi Pasar Kerja / UU 13-2003.
1. Ketidakpastian kerja semakin meningkat
Maksudnya dengan adanya UU 13-2003 yang mngesahkan sistem buruh kontrak dan outsorcing ternyata memberikan sebuah kepastian bahwa kita bias bekerja secara tidak permanent. Jadi, ada sebuah jaminan jaminan bahwa kita bisa bekerja esok hari atau lusa. Karena, kita diancam oleh sebuah PHK dan lain-lainnya.
2. Upah cendrung turun / rendah
Dimana upah buruh pabrik yang berstatus kontrak, upahnya cenderung turun dan rendah. Karena terkait dengan adanya jam kerja, upah yang tinggi dan UMP adalah menjadi upah yang maksimal. Jam kerja semakin panjang, ini adalah ternyata harus menambah jam kerja, dan itu harus ada upah lembur tetap tidak dibayar oleh pengusaha.
3. Jam kerja semakin panjang
4. Hilangnya jaminan sosial
Dimana para buruh kontrak dan outsourcing tidak diberikan sebuah jaminan social. Jaminan social ini adalah hak buruh pabrik dimana jika perusahaan memperkerjakan diatas 25 orang berhak memperoleh jaminan sosial. Tetapi menurut pendataan kami hampr semua buruh kontrak dan outsourcing tidak diberikan jaminan social. Dalam hal ini adalah Jamsostek, Askes, dll.
5. Kemudahan melakukan PHK
Ini yamerupakan bencana kemanusiaan dan tragedi bagi kita semua dengan adanya UU 13-2003 dengan memberikan keleluasaan tentang buruh kontrak dan outsourcing kita mudah untuk di PHK. Bahkan menurut pendataan kami, Ada satu orang bekerja selama 6 tahun tetapi berpindah-pindah 8 sampai 9 pabrik. Dimana kontrak 3 bulan kemudian diperpanjang setelah itu diputus masa kerjanya. Hal ini yang di sebut bencana kemanusiaan. Silahkan nanti teman-teman menyikapinya seperti apa.
6. Perusakan pekerjaan (permanen jadi kontrak)
Ada sebuah pemutihan, ada sebuah indikasi bahwa perusahaan menawarkan sebuah pesangon, lalu untuk menjalankan roda produksinya teman-teman buruh ditawarkan yang namanya pemutihan, kemudian direkrut kembali dan diseleksi, bagi yang lulus seleksi akan dipekerjakan sebagai pekerja kontrak dan outsourcing.
7. Pengangguran meningkat
Ini pasti, sebab ketidakpastian suatu pekerjaan yang menganggap pengangguaran yang meningkat. Dimana seorang buruh kontrak mungkin saat ini, tetapi karena kontraknya hanya seminggu, dua minggu, bahkan sebulan sehingga pengangguran meningkat. Kemarin, pada saat dilakukan survey dia bekerja, kemudian minggu depan dilakukan survey kembali dia sudah tidak bekerja.
8. Kesempatan memperoleh pelatihan semakin berkurang
Boro-boro buruh kontrak dan outsourcing mendapat pelatihan atau sekolah lagi. Ini pasti, bahwa pemerintah menanamkan pembodohan atau kemiskinan pada rakyatnya.
9. Melemahnya serikat buruh/pekerja
Sangat direpotkan oleh system buruh kontrak dan out sourcing. Dimana kita mau merekrut buruh kontrak menjadi anggota sedangkan kerjanya belum pasti. Sehingga banyak buruh kontrak yang takut untuk masuk ke serikat buruh karena ketidak pastian kerja.

2. SARAN
Pengaturan outsourcing dalam UU ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus memberikan bagi pekerja/buruh. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri.
Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai tujuan untuk melindungi pekerja/buruh,diperlukan Pengawas Ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat di samping perlunya kesadaran dan itikad baik semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Eko Indrajit & Djokopranoto. Proses Bisnis Outsourcing. 2003. Jakarta. Grasindo
Perburuhan & Tenaga Kerja Masalah-Masalah Dalam Outsourcing (bang_im76). hukumonline.com

0 comments: (+add yours?)

Post a Comment