Mahkamah Konstitusi pada Rabu (28/5) menyatakan bahwa Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Oleh sebab itu, Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan amar
putusan menyatakan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya
Undang-Undang yang baru.
Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-undang
tentang Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945, oleh karena itu
harus segera diganti. Maka sejumlah konsekuensi akan timbul diantaranya
koperasi harus menjamin simpanan anggotanya sendiri dan pengawasannya
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pertimbangannya, hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
filosofi dalam Undang-Undang Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan
hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas
kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Sebagaimana
apa yang dikatakan anggota hakim Mahkamah Konstitusi Maria Farida
Indrati “Pengertian koperasi ternyata telah dielaborasi dalam
pasal-pasal lain di dalam Undang-Undang No. 17/2012, sehingga di suatu
sisi mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan
menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas,”.
Ditambahkan pula bahwa undang-undang itu mengutamakan skema permodalan
materiil dan finansial serta mengesampingkan modal sosial yang menjadi
ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi
berdasarkan UUD 1945. Pada sisi lain, koperasi menjadi sama dan tidak
berbeda dengan perseroan terbatas dan kehilangan roh konstitusionalnya
sebagai entitas pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang berfilosofi gotong
royong.
Perlu kita ketahui bahwa yang mengajukan permohonan pengujian terhadap
Undang-Undang Nomor 17/2012 adalah dari Gabungan Koperasi Pegawai
Republik Indonesia Provinsi Jawa Timur; Pusat Koperasi Unit Desa Jawa
Timur; Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur; Pusat Koperasi An-nisa Jawa
Timur; Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur; Gabungan Koperasi Susu
Indonesia; Agung Haryono; dan Mulyono.
Para pemohon ini menilai bahwa ada sejumlah pasal yang mengatur norma
badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan
pengawas dan dewan koperasi dalam undang-undang tersebut telah mencabut
roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, serta asas kekeluargaan dan
kebersamaan yang dijamin konstitusi. Konsekuensi logis yang akan
ditimbulkan akibat dari pembatalan Undang-Undang Perkoperasian tersebut
antara lain:
Pertama Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam kemungkinan akan
diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan atau OJK bukan lagi oleh Lembaga
Pengawas KSP yang akan didirikan pada tahun 2014 sesuai dengan pesan
Undang-Undang No.17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. karena OJK
memiliki standar keuangan yang jelas berbeda dengan standar koperasi,
bahkan bukan tidak mungkin sistem perbankan akan diberlakukan pada
koperasi.
Kedua, Tidak ada peluang bagi pemerintah maupun gerakan koperasi untuk
membentuk lembaga penjamin simpanan, sehingga koperasi harus menjamin
sendiri simpanan anggotanya.
Ketiga, koperasi tidak bisa mengangkat pengurus dari kalangan
profesional non-anggota karena Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tidak
memungkinkan hal itu dilakukan.
0 comments: (+add yours?)
Post a Comment