TIDAK ADA ORANG YANG BODOH, TIDAK ADA ORANG YANG TERNODA

1 comments

Kebodohan dan bebas dari kesalahan menggambarkan dua pokok pemikiran yang menantang. Kebodohan berbicara tentang keterbatasan dan kelambanan kemampuan intelektual. Noda berbicara tentang jati diri dan karakter seseorang.

Kebodohan terjadi karena adanya gejalah-gejalah intelektual yang dianggap belum memenuhi standart tertentu akibat terlambatnya berpikir dan mengembangkan kognitif. Pengembangan kognitif atau cara berpikir seseorang sering dipengaruhi oleh tingkatan umur seseorang, menurut para ahli psikologi perkembangan seperti Jean Piaget. Menurut penelitiannya, perkembangan kognitif anak-anak jauh berbeda karena cara berpikir mereka penuh dengan intuitif dan mempunyai imajinasi yang tinggi. Setelah dewasa, anak-anak tadi berkembang menjadi pemikir-pemikir yang mengandalkan logika, kritis dan kreatif. Pemikiran rasional dan kritis ini menjadi tanda bahwa dia sudah bebas dari kebodohan dan ancaman penipuan orang.

Selama seseorang masih berpikir secara mistis, irasional dan tidak masuk akal, selama itu juga dia dianggap belum bisa mengendalikan diri dan belum mempunyai potensi diri yang tinggi. Dia dianggap bodoh dan ketinggalan jaman. Mengapa demikian? Karena cara berpikir orang yang irasional dan tanpa kritis itu sesungguhnya ada potensi untuk ditipu.

Tetapi apabila kita kaitkan dengan agama, ada banyak pemahaman kita yang bertentangan dengan logika, tidak rasional dan sering dianggap kebodohan bagi seseorang. Ada banyak karya spiritual yang terjadi diluar pantauan logika. Apakah itu kebodohan??

Kebodohan itu suatu phenomena yang relatif. Begitu juga dengan noda. Nilai-niai ini sulit dijadikan sebagai suatu nilai mutlak, yang dapat diterapkan dalam hidup seseorang. Noda berhubungan dengan masalah moral seseorang. Moralitas seseorang bisa beraneka. Contoh, jika seseorang mau menjadi pengikut agama tertentu hanya karena takut kepada orang tuanya. Jenis orang seperti ini adalah orang yang memiliki moral yang amat rendah. Sama halnya dengan orang yang menganut agama tertentu karena takut masuk naraka.

Orang yang bermoral tinggi adalah orang yang menolak korupsi karena dia sadar bahwa uang yang diambil itu milik orang lain. Bila perlu uang peribadinya boleh dapat ia sumbangkan untuk kebahagian orang lain. Dia siap berkorban untuk orang lain, biar nyawanya sekalipun. Itulah orang yang moralnya tinggi.

Orang yang moralnya tinggi itu akan bersediamengorbankan segalanya demi kesejahteraan orang lain. Tidak ingat diri sendiri. Orang pasti menganggap ia bodoh dan sangat tidak masuk akal karena melakukan demikian. Orang ini siap menderita demi kesejahteraan orang lain. Dia mengorbankan kekayaan peribadinya sendiri untuk orang lain.

Bagaimanakah sikap kita saat ini? Jika anda yang membaca tulisan itu belum merasa seperti orang yang mempunyai moral yang tinggi di atas, jangan merasa bersalah. Kita semua bertumbuh ke arah itu sampai kita menemukan diri kita yang sebenarnya. Anda akan menjadi bodoh demi kesejahteraan orang lain. Mari kita tumbuh bersama ke arah itu!

Seni dalam Paduan Idealisme dan Komersialitas. Bagaimana?

0 comments

Anomali sebuah idealisme dalam seni. Ibarat tembok tebal yang membatasi kreativitas untuk penghambaan pada idealisme. Imajinasi liar terkekang dan ruang pikir terjajah, terintervensi. Seni selalu terasosiasi dengan kebebasan. Batasan selalu ada, selalu bisa dihindari, kita bisa berlari menjauh untuk itu. Idealisme merupakan batasan yang kita buat sendiri. Dangkal atau dalam sebuuah batasan, kita yang menyusur, kita yang mengatur.

Seni, sebuah kata yang selalu mengalami perluasan makna seiring zaman. Seolah ingin mengikuti, makna seni sudah lebih jauh berkembang dari sekedar melukis, memahat atau mencipta benda. Kompleksitas suatu masyarakat dari masa ke masa, pun berujung pada kompleksitas seni itu sendiri. Mencoret-coret dinding rumah hingga ‘skill’ bisa dianggap seni. Berbicara, mendengar hingga merasa tak kalah ingin dikategorikan sebuah seni. Tanpa batasan, tanpa kekangan, seni pun berkembang dari sebuah ekslusifitas menjadi teman sehari-hari dalam menjalani kehidupan. Seni tidak lagi di monopoli kaum tertentu. Ia pun sudah menjadi gaya dan tindakan setiap orang, berkembang dan berjalan searus kehidupan.

Namun, ironi kadangkala muncul ketika hal khusus menjadi umum. Seni pun semakin memasyarakat, semakin banyak yang merasa tindakan suatu individu bisa dikategorikan suatu seni. Seni menjadi pasaran, tidak mendalam, dan kehilangan roh nya. Estetika dari seni tidak lagi diindahkan, tidak pula dirasa menjadi hal yang sakral dalam suatu tindakan seni. Seni ‘umum’ sering berdalih bahwa “yang penting berkarya, toh kita juga ikut memajukan seni”. Karya seni yang dulu ekslusif dengan pengagungan tinggi pun terberai dalam karya-karya pasaran. Kenapa?

Menjamur dan kian memasyarakat adalah suatu kemajuan, namun juga miris. Komersialitas seni sering menjadi kambing hitam. Dahulu, sebuah seni hanya bisa dijangkau oleh para bangsawan. Koleksi seni-seni bernilai tinggi pun berada di kandang-kandang kastil para bangsawan, dan juga menjadi pemanis koleksi museum kenegaraan. Penghargaan pada karya seni tersebut pun berharga tinggi, menggiurkan mata dari para awam seni untuk mencoba dan mencipta suatu seni. Komersialitas tinggi suatu seni merangsang orang-orang untuk mereplikasikan dirinya menjadi seniman untuk motif komersial, bukan motif estetika absolut.

Jamur pun akan hidup sehat beranak-pinak saat udara lembab, mendukung untuk tumbuh. Pun demikian seni, perkembangan teknologi membuat seni semakin mudah. Untuk siapa saja, di mana saja dan cara-cara yang semakin praktis dan murah. Alat-alat yang tidak dimiliki zaman sebelumnya, kini dengan mudah dijangkau. Bahan material untuk membuat karya pun dengan mudah di dapat. Memang teknologi semakin mempermudah segala hal, seni pun menjadi imbas dari kemajuan tersebut.
 
Yang tak kalah pentingnya dalam perkembangan seni yang semakin besar dan memasyarakat adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri berkembang dari berbagai arah psikologis. Imitasi, mencontoh, ‘ingin seperti’, pengetahuan baru hingga pembuktian adalah hal-hal yang mendorang setiap orang untuk mengaktualisasikan dirinya. Seni adalah hal yang paling mudah dilakukan. Pelampiasan yang paling baik, ampuh dan bisa langsung dilihat orang lain.

Idealisme, komersialitas dan seni. Konsekuensi logis dari penggabungan dua dari 3 hal tersebut akan selalu memberi dampak. Ketika kita ingin seni selalu bermandikan idealisme, maka bisa jadi kebebasan kreativitas akan menjadi tumpul, terbatasi oleh idealisme itu sendiri. Pun berkurangnya karya seniman untuk masyarakat akan terjadi. Tak kalah buruknya pula jika kita ingin mengaduk komersialitas dan seni. Bagai lebah di kebun bunga. Seni akan semakin banyak diproduksi, namun komersialitas lah yang menjadi tujuan, estetika tak peduli.

4 Ciri Masyarakat Idaman

0 comments

Berikut ini adalah 4 ciri dari masyarakat yang kita idam-idamkan:
  1. Saling hormat
  2. Saling memakmurkan 
  3. Saling memanuhi harapan 
  4. Saling berlomba melakukan kebaikan  
 
Sikap saling hormat di sini adalah saling hormat bedasar ajaran Tuhan, yang mengutamakan kepribadian unggul (akhlak mulia) di atas segala-galanya. Ini adalah persyaratan pokok untuk menciptakan kerukunan di tengah masyarakat yang majemuk (plural) dan bhineka (berbeda-beda), yang akan membuat mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sikap inilah yang akan menghapus diskriminasi kelas (pengkastaan), diskriminasi gender (jenis kelamin), dan bentuk-bentuk feodalisme secara keseluruhan. 
 
Sikap saling memakmurkan adalah dasar bagi pembentukan sistem ekonomi yang adil, yang akan membuat manusia melakukan aktifitas ekonomi (penyelenggaraan kebutuhan hidup) yang cenderung lebih memikirkan kebutuhan orang lain daripada diri sendiri, sehingga setiap anggota masyarakat menjadi produktif, cenderung memberi, dan selalu memastikan manfaat dari setiap pekerjaan serta tindakannya. 
 
Sikap saling memenuhi harapan adalah landasan bagi terbangunnya sebuah masyarakat yang para anggotanya fungsional di segala bidang dan sektor kehidupan. Tidak ada orang yang mau menganggur atau berpangku tangan sambil menonton kesibukan orang lain. Tidak ada orang yang baru bekerja setelah disuruh-suruh atau didorong-dorong. Semua berlomba ‘mengaktualisasikan’ diri sebagai manusia-manusia yang berguna. 
 
Sikap saling berlomba melakukan kebaikan adalah fondasi bagi tegaknya sebuah masyarakat yang bersih dari segala bentuk kesalahan yang disengaja, lekas mengoreksi kekeliruan, dan anti melakukan tindakan-tindakan kejahatan (krimininal). 
 
Demikianlah keadaan masyarakat yang pada hakikatnya merupakan idaman kita baik sebagai warga NKRI maupun sebagai warga dunia. Itulah pula yang menjadi latar belakang lahirnya semboyan bhineka tungal ika falsafah Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945.