Di sebuah pekarangan, masing-masing petak telah disepakati
dipakai oleh orang-orang yang terlibat di sana. Tidak peduli apakah
orang itu masih yunior atau senior. Pekarangan luas itu telah diberi
dibatasi untuk masing-masing orang dengan adil.
Seorang yunior di sana menanam sepetak tanahnya dengan tanaman obat. Sengaja ia bawa pohon itu dari tempat yang jauh agar khasiat tanaman itu bisa dinikmati banyak orang. Memang tanaman itu kecil saja, daunnya rimbun dan sesekali ada ulat yang sering terlihat memakan daunnya. Hanya daun dari pohon itu saja. Tidak kepada tanaman lain. Sang yunior pun sangat peduli dan merawat pohon itu dengan telaten.
Salah satu senior yang sering protes kepada pohon milik yunior itu sebenarnya tidak suka pohon itu ada. Alasannya karena ulatnya semakin banyak. Meski ia sudah diberitahu bahwa ulat tidak akan mengganggu, ada saja yang ia protes. Bahkan ia juga tidak suka dengan adanya pohon itu karena katanya bisa mengambil batas petakan yang lain. Ia meminta si yunior supaya lebih rajin memangkas tanamannya. Hingga satu hari ia menyaksikan sendiri kegunaan dari pohon obat milik yuniornya itu. Si senior mulai sedikit diam meski sesekali tetap saja ada yang menjadi protesnya.
Seperti biasa, si yunior itu harus memangkas pohon obatnya. Ia memotong dahan yang sudah banyak tumbuh serta memotong dedaunan. Ada yang untuk obat, ada pula yang dibuang. Sehabis dipangkas dan dibersihkan ia pun dengan rapi membuang bekas tebangan tanamannya itu ke tempat sampah sementara. Besok pagi akan ada yang mengambil sampah-sampah yang ada untuk dibuang ke tempatnya.
Tanpa sepengetahuan si yunior, malam-malam senior yang semula protes terhadap tanaman yang dimiliki yunior itu mencari dahan yang masih baik dan layak untuk ditanam kembali. Tanpa sepengetahuan siapa pun, ia menanamkan kembali dahan itu ke tanah petak bagian yunior itu.
* Kadang kita tidak mau mengakui keberhasilan orang lain. Meski banyak orang mengakui, ada saja rasa gengsi untuk mengakui bahkan sudah ada bukti di depan mata. Lalu, apakah demi menahan gengsi kita harus dengan cara sembunyi-sembunyi mengakui keberhasilan itu?
Seorang yunior di sana menanam sepetak tanahnya dengan tanaman obat. Sengaja ia bawa pohon itu dari tempat yang jauh agar khasiat tanaman itu bisa dinikmati banyak orang. Memang tanaman itu kecil saja, daunnya rimbun dan sesekali ada ulat yang sering terlihat memakan daunnya. Hanya daun dari pohon itu saja. Tidak kepada tanaman lain. Sang yunior pun sangat peduli dan merawat pohon itu dengan telaten.
Salah satu senior yang sering protes kepada pohon milik yunior itu sebenarnya tidak suka pohon itu ada. Alasannya karena ulatnya semakin banyak. Meski ia sudah diberitahu bahwa ulat tidak akan mengganggu, ada saja yang ia protes. Bahkan ia juga tidak suka dengan adanya pohon itu karena katanya bisa mengambil batas petakan yang lain. Ia meminta si yunior supaya lebih rajin memangkas tanamannya. Hingga satu hari ia menyaksikan sendiri kegunaan dari pohon obat milik yuniornya itu. Si senior mulai sedikit diam meski sesekali tetap saja ada yang menjadi protesnya.
Seperti biasa, si yunior itu harus memangkas pohon obatnya. Ia memotong dahan yang sudah banyak tumbuh serta memotong dedaunan. Ada yang untuk obat, ada pula yang dibuang. Sehabis dipangkas dan dibersihkan ia pun dengan rapi membuang bekas tebangan tanamannya itu ke tempat sampah sementara. Besok pagi akan ada yang mengambil sampah-sampah yang ada untuk dibuang ke tempatnya.
Tanpa sepengetahuan si yunior, malam-malam senior yang semula protes terhadap tanaman yang dimiliki yunior itu mencari dahan yang masih baik dan layak untuk ditanam kembali. Tanpa sepengetahuan siapa pun, ia menanamkan kembali dahan itu ke tanah petak bagian yunior itu.
* Kadang kita tidak mau mengakui keberhasilan orang lain. Meski banyak orang mengakui, ada saja rasa gengsi untuk mengakui bahkan sudah ada bukti di depan mata. Lalu, apakah demi menahan gengsi kita harus dengan cara sembunyi-sembunyi mengakui keberhasilan itu?
0 comments: (+add yours?)
Post a Comment