Hampir semua dari kita pasti lebih suka terhadap hal yang pasti-pasti  karena dengan demikian kita akan merasa lebih aman. Perasaan “aman” itu  sendiri merupakan kebutuhan dasar kedua. 
Menurut ahli motivasi Maslow kebutuhan dasar pertama atau kebutuhan  paling mendasar adalah kebutuhan bukan hanya untuk hidup, tetapi juga  kebutuhan untuk bisa survive: makan, air, udara, dan seks. Seks  merupakan kebutuhan untuk meneruskan kehidupan, bukan melulu penyaluran  nafsu badaniah! Jadi, keinginan untuk mendapatkan hal-hal yang  pasti-pasti juga merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan utama manusia  dalam kehidupan.
Dengan mempunyai keinginan tersebut sebetulnya kita berhadapan dengan paradoks karena kehidupan kita sehari-hari sendiri sudah penuh ketidak-pastian. Setiap kali bangun pagi, kita sudah menghadapi dunia yang penuh ketidak-pastian. Kita memang sudah membuat berbagai perencanaan, tetapi dapatkah (atau: beranikah) kita memastikan bahwa apa yang sudah terencana tersebut pasti 100 peren terlaksana sesuai dengan rencana yang sudah dibuat?
Dengan mempunyai keinginan tersebut sebetulnya kita berhadapan dengan paradoks karena kehidupan kita sehari-hari sendiri sudah penuh ketidak-pastian. Setiap kali bangun pagi, kita sudah menghadapi dunia yang penuh ketidak-pastian. Kita memang sudah membuat berbagai perencanaan, tetapi dapatkah (atau: beranikah) kita memastikan bahwa apa yang sudah terencana tersebut pasti 100 peren terlaksana sesuai dengan rencana yang sudah dibuat?
Mungkin komputer kita tiba-tiba disusupi virus. Atau anak kita yang  segar-bugar ketahuan menderita sakit. Cek yang kita terima ternyata  dananya kosong. Harga saham yang diperkirakan naik, eh, kok ya malah  jadi turun. Rasa optimisme yang sudah kita bangun karena kita sudah  demikian teliti menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan, mungkin saja  tiba-tiba menjadi berantakan karena ada hal di luar dugaan yang  menghantamnya. Apakah ketidak-pastian semacam itu membuat kita menjadi  takut menghadapi masa depan?
Sebaiknya hal yang dapat menimbulkan pesimisme semacam itu dilihat  dari sudut pandang lain: adanya ketidak-pastian semacam itu sebetulnya  malah merupakan kemungkinan terjadinya berbagai hal lain. Bila ada  kepastian, berarti hanya ada satu kemungkinan saja yang pasti terjadi  dan pasti tidak akan ada kemungkinan lain yang akan terjadi. Sedang  kalau tidak jelas (atau tidak pasti) apa yang akan terjadi, berarti yang  mungkin akan terjadi ada banyak hal. Betul, kan?
Peluang
Memang, untuk mereka yang jeli dan dapat mengendalikan keadaan, kondisi ketidakpastian malah akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dari kondisi ketidakpastian itu akan dapat dicari berbagai peluang untuk diwujudkan menjadi hal-hal yang memuaskan.
Memang, untuk mereka yang jeli dan dapat mengendalikan keadaan, kondisi ketidakpastian malah akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dari kondisi ketidakpastian itu akan dapat dicari berbagai peluang untuk diwujudkan menjadi hal-hal yang memuaskan.
Banyak orang yang beranggapan bahwa peluang yang baik hanyalah  dimiliki oleh mereka yang berada “di depan” atau yang pertama kali  mengenal peluang tersebut. Kita cenderung percaya bahwa mereka yang  sudah melakukan suatu hal lebih dulu akan lebih beruntung disbanding  dengan yang “datang belakangan” dan melakukan hal sama.
Harus diingat bahwa Stephen Covey, pakar yang mengemukakan tentang  tujuh kebiasaan manusia yang amat efektif, memperkenalkan kita kepada  “ciptaan pertama” dan “ciptaan kedua”.
Ciptaan pertama adalah bentuk ketika suatu hal diciptakan atau  dibentuk pertama kali, sedangkan ciptaan kedua adalah ketika hal itu  dibentuk untuk waktu berikutnya. Jelas yang terakhir merupakan perbaikan  disbanding dengan ciptaan pertama karena pasti sudah ada perbaikan  sebagai hasil pengamatan pada kelemahan ciptaan pertama ditambah hal-hal  yang diperkirakan merupakan perbaikan dari bentuk sebelumnya.
Contoh yang jelas adalah perkembangan bentuk dan fitur peralatan (TV,  komputer, HP dan semacamnya), setiap kali selalu lebih baik disbanding  dengan sebelumnya.
Mengapa bisa demikian, tentunya model-model terakhir dibuat setelah  memperhatikan kelemahan tipe sebelumnya dan berdasarkan pengalaman  memakai produk tipe tersebut kemudian didapatkan hal-hal yang harus  diperbaiki, yang diterapkan pada tipe atau model keluaran belakangan.
Jadi, kita tidak perlu berkecil hati bila menjadi orang kesekian yang  memasuki suatu bidang. Walaupun ada pepatah: “Burung pertama akan mudah  mendapat cacing” (the ealy bird cathes the worm), tetapi ada suatu  lembaga pendidikan yang pernah mengiklankan diri sebagai “We are not the  first, but the best !”
Peluang adalah suatu “situasi”. Setiap kali suatu situasi akan dapat  berubah. Suatu hal yang yang pada satu hari muncul sebagai peluang, di  hari berikutnya mungkin sudah bukan merupakan peluang lagi. Di dunia  yang mempunyai banyak perubahan dan banyak kemungkinan ini, ada berbagai  macam peluang yang muncul. Kita memang harus jeli untuk melihatnya,  kemudian menangkap dan memprosesnya.
Yang menjadi masalah memang bagaimana kita dapat “melihat” dan  menangkap peluang yang “lewat” tersebut. Hal itu membutuhkan proses  belajar, sampai kita dapat “mengendus” peluang mana yang sesuai dengan  kemampuan kita untuk dapat memproses selanjutnya, sehingga peluang  tersebut menjadi berdaya-guna. Layaknya semua proses belajar, pasti ada  tahapan-tahapan ketika kita jatuh-bangun dulu sebelum akhirnya menjadi  mahir. Seperti pernah disinggung di rubrik ini, proses belajar yang baik  adalah seperti proses anak belajar berjalan.
Walaupun awalnya selalu jatuh (samakanlah dengan pengalaman hidup  ketika berkali-kali mengalami kegagalan), tetapi si anak tetap saja  “ngotot” untuk bangkit lagi sampai akhirnya dapat berjalan di atas  kakinya sendiri.
Hal lain yang perlu diperhatikan kalau kita menghadapi suatu peluang  adalah melihat semua hal di sekeliling peluang tersebut secara  menyeluruh. Banyak orang yang main tubruk saja ketika melihat suatu  peluang di depannya, tanpa memperhatikan hal-hal yang mungkin  menyebabkan sebaiknya kita tidak usah mengambil peluang tersebut.
Setelah satu peluang kita “tangkap”, sebelum membuahkan suatu hasil,  masih saja kita harus menerapkan kedisiplinan, kejelasan arah, ketekunan  dan strategi-strategi tertentu. Tidak ada peluang yang langsung  membuahkan hasil begitu kita tangkap. Masih harus ada proses panjang  untuk sampai ke tahapan itu.
No Where atau Now Here
Yang menarik adalah membandingkan pandangan orang yang pesimis dan yang optimis. Yang pesimis mengatakan OPPORTUNITY IS NO WHERE – tidak ada peluang di mana pun. Sedang orang optimis selalu mengatakan OPPORTUNITY IS NOW HERE, peluang itu saat ini ada di sini. No where (tidak ada di mana pun) dan now here (sekarang ada di sini) jumlah dan urutan hurufnya sama persis. Hanya saja letak huruf “w” yang menyatu dengan kata yang di depan atau yang menyatu dengan kata yang di belakanglah yang membedakan artinya.
Yang menarik adalah membandingkan pandangan orang yang pesimis dan yang optimis. Yang pesimis mengatakan OPPORTUNITY IS NO WHERE – tidak ada peluang di mana pun. Sedang orang optimis selalu mengatakan OPPORTUNITY IS NOW HERE, peluang itu saat ini ada di sini. No where (tidak ada di mana pun) dan now here (sekarang ada di sini) jumlah dan urutan hurufnya sama persis. Hanya saja letak huruf “w” yang menyatu dengan kata yang di depan atau yang menyatu dengan kata yang di belakanglah yang membedakan artinya.
Itu jelas berarti bahwa sudut pandang seseorang lah yang memastikan  bahwa peluang, atau kesempatan, itu tidak ada di mana-mana, atau memang  ada di sini. Toh bentuk peluangnya sama, tempat dan situasi yang  dihadapi juga sama – hanya yang cukup jeli dan punya pengharapan (=  optimis) dapat mengenalinya sebagai peluang yang harus ditangkap dan  digarap, sedang yang lain tidak melihatnya sama sekali.
Begitu peluang sudah berada di dalam dekapan kita, kita tetap saja  harus berusaha. Di atas sudah disinggung mengenai kedisiplinan,  kejelasan arah, ketekunan dan strategi-strategi untuk mengolahnya  menjadi suatu hasil yang berdaya-guna. Untuk membicarakan hal itu ada  cerita yang menarik. Di suatu kerajaan, seorang raja berpikir: “Aku ini  ‘kan raja. Masa iya sih, tak dapat mengusahakan cara yang paling mudah  untuk mendapatkan hasil dengan segera?”
Dikumpulkannya semua kaum cerdik-pandai dari seluruh pelosok negeri  untuk menemukan cara seperti yang dipikirkannya. Setelah tenggat waktu  yang ditentukan, mereka menghadap dengan membawa buku setebal 100  halaman, berisi jawaban atas kemauan baginda. Raja menerima buku  tersebut, tetapi tidak puas. “Gila apa, masa yang namanya cara yang  paling mudah harus dicapai dengan membaca dan menghapal isi buku setebal  ini? Itu namanya menyengsarakan diri! Cari cara yang lebih baik!”
Mereka berkumpul kembali, bermalam-malam membahas keinginan baginda.  Akhirnya mereka mengumumkan bahwa jawabannya sudah ditemukan. Singkat,  sesuai keinginan sang raja. Pada puncak acara satu pertemuan akbar yang  diliput seluruh media massa dan stasiun TV (eh, emang sudah ada, ya?),  diserahkanlah satu lembar kertas yang segera dibuka baginda dan  dibacanya keras-keras. Isinya: “Tidak pernah ada makan siang gratis!”  (diterjemahkan dari: There is no FREE lunch).
Apakah Anda setuju dengan “penemuan” para cerdik-pandai di kerajaan  itu? Apakah Anda berpikir bahwa semua orang yang kita kenal: Aburizal  Bakrie, Ciputra, SBY, JK, Hasyim Muzadi, Gus Dur, Rizal dan Andi  Mallarangeng dengan mudah dan dengan begitu saja meraih nama besar  mereka? Pernahkah Anda berpikir bahwa mereka ini selalu bersusah-payah  mengalahkan diri-sendiri ketika datang godaan untuk tidak bertekun,  tidak berkonsentrasi terhadap sasaran yang mereka kejar?
Pernahkah Anda berpikir bahwa mereka sering menghabiskan waktu 14 jam  sehari untuk mencari jawab atas persoalan yang harus mereka pecahkan?  Menghasilkan satu keberhasilan setelah bertubi-tubi didera kegagalan?
Untuk orang-orang seperti mereka satu kegagalan bukanlah akhir  segalanya. Orang yang berhasil sealu akrab dengan kegagalan. Untuk  mereka kegagalan, seperti pepatah, adalah “keberhasilan yang tertunda”.  Mereka menghayati dan memahami hal itu. Satu kegagalan akan dipelajari  untuk didapatkan manfaatnya sehingga dapat menjadi pelajaran untuk  langkah-langkah selanjutnya.
Seorang motivator memberi perumpamaan menarik. Orang seperti mereka  tidak pernah hanya duduk-duduk saja dan tidak berbuat apa-apa ketika  ditimpa suatu masalah. Tuhan sudah menentukan bahwa satu-satunya jenis  makhluk yang boleh duduk-duduk saja dan mendapatkan hasil maksimal hanya  ada satu di dunia ini: unggas – termasuk ayam yang amat kita kenal itu  (yang mengerami telur-telurnya)!
Twitter
Facebook
Flickr
RSS
0 comments: (+add yours?)
Post a Comment