Pengertian Pemberdayaan
Masyarakat
Pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah
proses, cara, perbuatan membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan
sesuatu atau kemampuan bertindak yang berupa akal, ikhtiar atau upaya
(Depdiknas, 2003). Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 2009). Dalam
beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas, pemberdayaan masyarakat sering
dimaknai sebagai upaya untuk memberikan kekuasaan agar suara mereka didengar
guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan keputusan yang mempengaruhi
komunitasnya (Foy, 1994). Pemberdayaan adalah proses transisi dari keadaan
ketidakberdayaan ke keadaan kontrol relatif atas kehidupan seseorang, takdir,
dan lingkungan (sadan, 1997).
Menurut Mubarak (2010) pemberdayaan masyarakat
dapat diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau meningkatkan kemampuan
suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka
dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawabnya selaku anggota masyarakat.
Pada Pemberdayaan pendekatan proses lebih
memungkinkan pelaksanaan pembangunan yang memanusiakan manusia. Dalam pandangan
ini pelibatan masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada bentuk
partisipasi, bukan dalam bentuk mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam perumusan
program membuat masyarakat tidak semata-mata berkedudukan sebagai konsumen
program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam
proses pembuatan dan perumusannya, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki
program tersebut dan mempunyai tanggung jawab bagi keberhasilannya serta
memiliki motivasi yang lebih bagi partisipasi pada tahaptahap berikutnya
(Soetomo, 2006).
PEMBAHASAN
Konsep
Pemberdayaan Masyarakat
Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum,
artinya sesuatu yang dipahami. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau
gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau symbol. Secara
konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata
power yang berarti kekuasaan atau keberdayaan. Konsep pemberdayaan berawal dari
penguatan modal sosisl di masyarakat (kelompok) yang meliputi penguatan
penguatan modal social (. Apabila kita sudah mem Kepercayaan (trusts), Patuh
Aturan (role), dan Jaringan (networking)) iliki modal social yang kuat maka
kita akan mudah mengarahkan dan mengatur (direct) masyarakat serta mudah
mentransfer knowledge kepada masyarakat. Dengan memiliki modal social yang kuat
maka kita akan dapat menguatkan Knowledge, modal (money), dan people. Konsep
ini mengandung arti bahwa konsep pemberdayaan masyarakat adalah Trasfer
kekuasaan melalui penguatan modal social kelompok untuk menjadikan kelompok
produktif untuk mencapai kesejahteraan social. Modal social yang kuat akan
menjamin suistainable didalam membangun rasa kepercayaan di dalam masyarakat
khususnya anggota kelompok (how to build thr trust).
Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan
dengan konsep mengenai modal soaial dan kekuasaan. Kekuasaan seringkali
dikaitkan dan dihubungkan dengan kemampuan individu untuk membuat individu
melakukan apa yang diinginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Pada dasarnya,
pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (Sipahelut,
2010). Pemberdayaan merujuk pada
kemampuan orang, khususnya
kelompok rentan dan lemah
sehingga mereka memiliki kekuatan atau
kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan
dasarnya sehingga mereka
memiliki kebebasan (freedom),
dalam arti bukan
saja bebas dalam
mengemukakan pendapat, melainkan
bebas dari kelaparan,
bebas dari kebodohan,
bebas dari kesakitan;
(b) menjangkau sumber-sumber
produktif yang memungkinkan
mereka dapat meningkatkan
pendapatannya dan memperoleh
barang-barang dan jasa-jasa
yang mereka perlukan; dan
(c) berpartisipasi dalam
proses pembangunan dan keputusan keputusan yang mempengaruhi
mereka (Suharto 2005).
Jimmu, (2008) menyatakan bahwa pengembangan
masyarakat tidak hanya sebatas teori tentang bagaimana mengembangkan daerah pedesaan
tetapi memiliki arti yang kemungkinan perkembangan di tingkat masyarakat.
Pembangunan masyarakat seharusnya mencerminkan tindakan masyarakat dan
kesadaran atas identitas diri. Oleh karena itu, komitmen untuk pengembangan
masyarakat harus mengenali keterkaitan antara individu dan masyarakat dimana
mereka berada. Masyarakat adalah sebuah fenomena struktural dan bahwa sifat
struktural dari kelompok atau masyarakat memiliki efek pada cara orang
bertindak, merasa dan berpikir. Tapi ketika kita melihat struktur tersebut,
mereka jelas tidak seperti kualitas fisik dari dunia luar. Mereka bergantung
pada keteraturan reproduksi sosial, masyarakat yang hanya memiliki efek pada
orang-orang sejauh struktur diproduksi dan direproduksi dalam apa yang orang
lakukan. Oleh karena itu pengembangan masyarakat memiliki epistemologis logis
dan yang dasar dalam kewajiban sosial yang individu memiliki terhadap
masyarakat yang mengembangkan bakat mereka.
Adedokun, et all., (2010) menunjukkan bahwa
komunikasi yang efektif akan menimbulkan partisipasi aktif dari anggota
masyarakat dalam pengembangan
masyarakat. Ia juga mengungkapkan bahwa ketika kelompok masyarakat yang
terlibat dalam strategi komunikasi, membantu mereka mengambil kepemilikan
inisiatif pembangunan masyarakat dari pada melihat diri mereka sebagai penerima
manfaat pembangunan. Berdasarkan temuan tersebut, direkomendasikan bahwa para
pemimpin masyarakat serta agen pengembangan masyarakat harus terlibat dalam
komunikasi yang jelas sehingga dapat meminta partisipasi anggota masyarakat
dalam isu-isu pembangunannya.
Jimu (2008) menunjukkan bahwa pengembangan
masyarakat tidak khususnya masalah ekonomi, teknis atau infrastruktur. Ini
adalah masalah pencocokan dukungan eksternal yang ditawarkan oleh agen
pembangunan pedesaan dengan karakteristik internal sistem pedesaan itu sendiri.
Oleh karena itu, agen pembangunan pedesaan harus belajar untuk ‘menempatkan
terakhir terlebih dahulu’ (Chambers, 1983 dalam jimu, 2008). Secara teori,
peran pemerintah pusat dan agen luar lainnya harus menginspirasi inisiatif
lokal bahwa hal itu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Passmore 1972 dalam
jimu, 2008). Dalam prakteknya, top-down perencanaan dan pelaksanaan
proyek-proyek pembangunan harus memberi jalan kepada bottom-up atau partisipasi
aktif masyarakat untuk mencapai apa yang disebut ‘pembangunan melalui
negosiasi’. Hal ini sesuai Menurut Talcot Parsons (dalam Prijono, 1996:64-65)
power merupakan sirkulasi dalam subsistem suatu masyarakat, sedangkan power
dalam empowerment adalah daya sehingga empowerment dimaksudkan sebagai kekuatan
yang berasal dari bawah (Bottom-Up).
Shucksmith, (2013) menyatakan pendekatan bottom-up
untuk pembangunan pedesaan (‘didorong dari dalam’, atau kadang-kadang disebut
endogen) berdasarkan pada asumsi bahwa sumber daya spesifik daerah – alam,
manusia dan budaya – memegang kunci untuk perkembangannya. Sedangkan pembangunan
pedesaan top-down melihat tantangan utamanya sebagai mengatasi perbedaan
pedesaan dan kekhasan melalui promosi keterampilan teknis universal dan
modernisasi infrastruktur fisik, bawah ke atas Pengembangan melihat tantangan
utama sebagai memanfaatkan selisih melalui memelihara khas lokal kapasitas
manusia dan lingkungan itu. Model bottom-up terutama menyangkut mobilisasi
sumber daya lokal dan aset. Artinya,
masyarakat pembangunan harus dianggap
bukan sebagai teori pembangunan, tetapi praktek
pembangunan yang menekankan emansipasi dari lembaga yang tidak
pantas dan setiap melemahkan situasi
yang mengarah pada perias partisipasi, pengembangan masyarakat harus menjadi
mekanisme untuk menarik kekuatan
kolektif anggota masyarakat tertentu – yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, mampu dan cacat,
dll – untuk mengubah di wilayah mereka.
Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu
melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi
lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Pemberdayaan adalah sebuah proses
dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan
kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah
kemiskinan. Sebagai tujuan,
maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin
dicapai oleh sebuah perubahan sosial;
yaitu masyarakat yang
berdaya, memiliki kekuasaan
atau mempunyai pengetahuan
dan kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya
baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti
memiliki kepecayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai
mata pencaharian, berpartisipasi dalam
kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya
(Sipahelut, 2010).
Konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam
hal ini pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi
pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan
pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan
pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung. Menurut Chambers, (1995)
pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum
nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni
yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”.
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka
ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama,
kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada
masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi
pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan
kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu
kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau
memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog (Sumodiningrat, 2002).
Konsep pemberdayaan menekankan bahwa orang
memperoleh ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya
(Pearson et al, 1994 dalam Sukmaniar, 2007). Pemahaman mengenai konsep
pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan
itu sendiri, karena pada hakikatnya pemberdayaan adalah sebuah usaha
berkesinambungan untuk menempatkan masyarakat menjadi lebih proaktif dalam
menentukan arah kemajuan dalam komunitasnya sendiri. Artinya program
pemberdayaan tidak bisa hanya dilakukan dalam satu siklus saja dan berhenti
pada suatu tahapan tertentu, akan tetapi harus terus berkesinambungan dan
kualitasnya terus meningkat dari satu tahapan ke tahapan berikutnya (Mubarak,
2010).
Menurut Wilson (1996) terdapat 7 tahapan dalam
siklus pemberdayaan masyarakat. Tahap pertama yaitu keinginan dari masyarakat
sendiri untuk berubah menjadi lebih baik. Pada tahap kedua, masyarakat
diharapkan mampu melepaskan halangan-halangan atau factor-faktor yang bersifat
resistensi terhadap kemajuan dalam dirinya dan komunitasnya. Pada tahap ketiga,
masyarakat diharapkan sudah menerima kebebasan tambahan dan merasa memiliki
tanggung jawab dalam mengembangkan dirinya dan komunitasnya. Tahap keempat
yaitu upaya untuk mengembangkan peran dan batas tanggung jawab yang lebih luas,
hal ini juga terkait dengan minat dan motivasi untuk melakukan pekerjaan dengan
lebih baik. Pada tahap kelima ini hasil-hasil nyata dari pemberdayaan mulai
kelihatan, dimana peningkatan rasa memiliki yang lebih besar menghasilkan
keluaran kinerja yang lebih baik. Pada tahap keenam telah terjadi perubahan
perilaku dan kesan terhadap dirinya, dimana keberhasilan dalam peningkatan
kinerja mampu meningkatkan perasaan psikologis di atas posisi sebelumnya. Pada
tahap ketujuh masyarakat yang telah berhasil dalam memberdayakan dirinya,
merasa tertantang untuk upaya yang lebih besar guna mendapatkan hasil yang
lebih baik. Siklus pemberdayaan ini menggambarkan proses mengenai upaya
individu dan komunitas untuk mengikuti perjalanan kearah prestasi dan kepuasan
individu dan pekerjaan yang lebih tinggi.
Apabila kita cermati dari serangkaian literature
tentang konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat maka konsep pemberdayaan adalah
suatu proses yang diupayakan untuk melakukan perubahan. Pemberdayaan masyarakat
memiliki makna memberi kekuatan/ daya kepada kumpulan masyarakat yang berada
pada kondisi ketidakberdayaan agar menjadi berdaya dan mandiri serta memiliki
kekuatan melalui proses dan tahapan yang sinergis.
Teori
Pemberdayaan Masyarakat
Pengertian
Teori
Sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang
menyajikan pandangan sistematis melalui pengkhususan hubungan antar variabel
dengan tujuan menjelaskan dan meramalkan/menduga. Teori pemberdayaan masyarakat
memberikan petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan di dalam situasi
tertentu. Teori dapat dalam bentuk luas
atau ringkas mengenai pola pola interaksi dalam masyarakat
atau menggambarkan pola yang terjadi dalam situasi
tertentu (contoh : masyarakat, organisasi, atau kelompok populasi tertentu).
Sebuah teori dalam pemberdayaan masyarakat dapat
ditemukan atau diungakp menggunakan 2 pendekatan. Pendekatan pertama yaitu
Deductive Theory Construction yaitu teori yang sudah ada atau ditemukan diawal
kemudian dilakukan penelitian pemberdayaan pada masyarakat. Pendekatan kedua
yaitu Konstructive theory yaitu teori yang belum ada atau masih di duga dan
untuk menyusunnya dilakukan penelitian pemberdayaan pada masyarakat.
Peranan
Teori
Teori dalam praktek pemberdayaan masyarakat
menggambarkan distribusi kekuasaan dan sumberdaya dalam masyarakat, bagaimana
fungsi fungsi organisasi dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan
diri. Teori di dalam pemberdayaan masyarakat mengandung hubungan sebab dan
pengaruh yang harus dapat di uji secara empiris.
Hubungan sebab dan akibat/outcome yang terjadi
karena kejadian/aksi tertentu akan dapat memunculkan jenis intervensi yang
dapat digunakan oleh pekerja sosial/LSM dalam memproduksi outcome. Dalam kerja
sosial (social work), kita dapat menggunakan teori untuk menentukan jenis
aksi/kegiatan atau intervensi yang dapat digunakan untuk memproduksi
outcome/hasil. Pada umumnya beberapa teori digabung untuk memproduksi model
outcome.
Teori
Pemberdayaan
1. Teori Ketergantungan Kekuasaan
(power-dependency)
Power
merupakan kunci konsep untuk memahami proses pemberdayaan. Pemikiran modern
tentang kekuasaan dimulai dalam tulisan-tulisan dari Nicollo Machiavelli (The
Prince, awal abad ke-16) dan Thomas Hobbes (Leviathan abad, pertengahan-17).
Tujuan dari kekuasaan adalah untuk mencegah kelompok dari berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan dan juga untuk memperoleh persetujuan pasif
kelompok ini untuk situasi ini. Power
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi sosial. Kekuasaan adalah
fitur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini selalu menjadi
bagian dari hubungan, dan tanda-tanda yang dapat dilihat bahkan pada tingkat
interaksi mikro (Sadan, 1997).
Lebih
lanjut (Abbot, 1996:16-17) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat perlu
memperhatikan kesetaraan (equality), konflik dan hubungan pengaruh kekuasaan
(power relations) atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya rendah. Setelah
kegagalan teori modernisasi muncul teori ketergantungan, dimana teori
ketergantungan pada prinsipnya menggambarkan adanya suatu hubungan antar negara
yang timpang, utamanya antara negara maju (pusat) dan negara pinggiran (tidak
maju). Menurut Abbot (1996: 20) dari teori ketergantungan muncul pemahaman akan
keseimbangan dan kesetaraan, yang pada akhirnya membentuk sebuah pemberdayaan
(empowerment) dalam partisipasi masyarakat dikenal sebagai teori keadilan.
Sebagai
contoh: Teori “ketergantungan-kekuasaan” (power-dependency) mengatakan kepada
kita bahwa pemberi dana (donor) memperoleh kekuasaan dengan memberikan uang dan
barang kepada masyarakat yang tidak dapat membalasnya. Hal ini memberikan ide bahwa
lembaga/organisasi (non profit organization) /LSM sebaiknya tidak menerima dana
dari hanya satu donor jika ingin merdeka/bebas.
Pada
konteks pemberdayaan maka teori ketergantungan dikaitkan dengan kekuasaan yang
biasanya dalam bentuk kepemilikan uang/modal. Untuk mencapai suatu kondisi
berdaya/ kuat/mandiri, maka sekelompok masyarakat harus mempunyai keuangan/
modal yang kuat. Selain uang/modal, maka ilmu pengetahuan/ knowledge dan aspek
people/sekumpulan orang/ massa yang besar juga harus dimiliki agar kelompok
tersebut mempunyai power. Kelompok yang memiliki power maka kelompok itu akan
berdaya.
2. Teori Sistem (The Social System)
Talcott
Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para
pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat
seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons
adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat
tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun
berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika
masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan
yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan
Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Parsons
(1991) menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar
mampu bertahan, yaitu:
- Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangu situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
- Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
- Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
- Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Apabila
dimasukka dalam aspek pemberdayaan masyarakat, maka teori system social ini
mengarah pada salah satu kekuatan yang harus dimiliki kelompok agar kelompok
itu berdaya yaitu memiliki sekumpulan orang/massa. Apabila kelompok itu
memiliki massa yang besar dan mampu bertahan serta berkembang menjadi lebih
besar maka kelompok itu dapat dikatakan berdaya.
3. Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi)
Organisasi
merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan kita, karena kita adalah
makhluk sosial. Kita hidup di dunia tidaklah sendirian, melainkan sebagai
manifestasi makhluk sosial, kita hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Struktur organisasi merupakan kerangka antar hubungan
satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang
yang masing-masing mempunyai peranan tertentu. Struktur organisasi akan tampak
lebih tegas apabila dituangkan dalam bentuk bagan organisasi.
Seseorang masuk
dalam sebuah organisasi
tentu dengan berbagai
alasan karena kelompok
akan membantu beberapa
kebutuhan atau tujuannya
seperti perlindungan, cinta
dan kasih sayang,
pergaulan, kekuasaan, dan
pemenuhan sandang pangan.
Berbagai tujuan tersebut
memperlihatkan bahwa kehidupan
saling pengaruh antar
orang jauh lebih
bermanfaat daripada kehidupan
seorang diri. Seseorang
pada umumnya mempunyai kebutuhan yang bersifat banyak yang
menginginkan dipenuhinya lebih dari
satu macam kebutuhan,
sehingga keberadaan kelompok
merupakan suatu keharusan.
Menurut Lubis
dan Husaini (1987)
bahwa teori organisasi
adalah sekumpulan ilmu
pengetahuan yang membicaraan mekanisme
kerjasama dua orang atau
lebih secara sistematis
untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan.
Teori organisasi merupakan
sebuah teori untuk
mempelajari kerjasama pada
setiap individu. Hakekat
kelompok dalam individu
untuk mencapai tujuan beserta
cara-cara yang ditempuh dengan menggunakan teori yang
dapat menerangkan tingkah
laku, terutama motivasi,
individu dalam proses kerjasama. Pada teori ekologi,
membahas tentang organisasi sebagai wadah untuk sekumpulan masyarakat dengan tujuan
yang sama agar tertatur, jelas, dan kuat. Orientasi organisasi mengacu pada
sekumpulan orang/massa yang harus dimiliki kelompok untuk dapat memiliki
power/daya. Kelompok yang memiliki organisasi dengan kuat dan berkelanjutan
maka kelompok ini dikatakan berdaya.
4. Teori Konflik
Konflik
akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua level kehidupan
masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak bersinggungan dan sering malahirkan
konflik. Belajar dari konflik yang kemudian disadari menghasilkan kerugian para
pihak akan memunculkan inisiatif meminimalisir kerugian itu. Caranya adalah
mengupayakan damai untuk kembali hidup bersama. Dalam konteks demikian, konflik
didefinisikan bukan dari aspek para pelaku konflik, tetapi merupakan sesuatu
yang givendalam interaksi sosial. Malahan konflik menjadi motor pergaulan yang
selalu melahirkan dinamika dalam masyarakat. Dikenal beberapa pendekatan
teoritis untuk menjelaskan konflik. Sebagai kenyataan sosial. Diantaranya
pendekatan ketimpangan dalam dunia ekonomi yang menjelaskan bahwa munculnya
konflik dikarenakan ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan yang
menciptakan kelangkaan. Sementara disisi lain, individu bersifat individualis,
mementingkan diri sendiri untuk mendapatkan surplus yang ada. Adanya kesamaan
antara individu membuka peluang terjadinya perebutan pada satu komoditi dan
sebaliknya juga membuka kerjasama di antara para pelaku (Chalid, 2005).
Pada
proses pemberdayaan yang dilakukan di suatu lingkungan social (masyarakat) akan
sangat sering menemui konflik. Konflik yang terjadi berkaitan erat dengan
ketidakpercayaan dan adanya perubahan kepada mereka. Perubahan terhadap
kebiasaan, adat istiadat dn berbagai norma social yang sudah tertanam sejak
lama di dalam masyarakat. Hal ini sesuai
pendapat Stewart, 2005 dalam Chalid (2005) Terdapat tiga model penjelasan yang
dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan masyarakat,
pertama penjelasan budaya, kedua, penjelasan ekonomi, ketiga penjelasan
politik. Perspektif budaya menjelaskan bahwa konflik dalam masyarakat
diakibatkan oleh adanya perbedaan budaya dan suku. Dalam sejarah, konflik
cenderung seringkali terjadi karena persoalan perbedaan budaya yang melahirkan
penilaian stereotip. Masing-masing kelompok budaya melihat sebagai anggota atau
bagian dari budaya yang sama dan melakukan pertarungan untuk mendapatkan
otonomi budaya. Terdapat perdebatan tentang pendekatan primordial terhadap
realitas konflik. Sebagian antropolog ada yang menerima dan sebagian menolak.
Argumentasi kalangan yang menolak beralasan bahwa terdapat masalah serius bila
hanya menekankan penjelasan konflik dari aspek budaya semata. Pendekatan
budayatidak memasukkan faktor-faktor penting dari aspek sosial dan ekonomi.
Pandangan
teori konflik mengacu pada dua aspek, yang pertama tentang ekonomi/uang yaitu
berkaitan dengan modal sebagai sarana untuk kelompok dapat dikatakan berdaya
dan mandiri. Aspek kedua menyangkut tentang organisasi, apbila kelompok dapat
memanajemen konflik dengan baik, maka keutuhan dan kekuatan organisasi/
kelompok orang akan terus kuat dan lestari sehingga mereka akan memiliki daya
dari sisi finansial dan sisi keanggotaan massa.
5.
Teori Mobilisasi Sumberdaya
Jasper,
(2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan interaksi
di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan pilihan rasional (rational
choice) menyadari akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan individu
sebagai yang abstrak untuk menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang
terkait dengan berbagai tradisi yang mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi
individu (individual action) dan aksiaksi kolektif (collective action) sejak
tahun 1960-an, yakni penelitian tentang
perlawanan (social resistence), gerakan sosial
(social movement) dan tindakan kolektif (collective behavior) berkembang di bawah inspirasi dari
teori-teori besar tersebut. Dua dari
mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan Marxisme, terutama sosiologi
makro versi Amerika yang menekankan
teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) dan interaksi dengan negara.
Rusmanto, (2013) menyimpulkan bahwa untuk mengetahui keinginan seseorang akan
sangat terkait dengan tujuan di akhir orang tersebut. Seseorang dari pertanyaan tersebut mengarah kepada sebuah tujuan. Dalam hal ini,
maka tujuan adalah pusat pendekatan yang strategis sebagai taktik, meskipun
dalam pemahaman umum, telah keliru
memahami bahwa strategi merupakan instrumen tujuan yang bersifat sementara
mencerminkan budaya dan emosi.
Pada
konteks pemberdayaan masyarakat maka teori mobilisasi menjadi salah satu dasar
yang kuat, karena untuk menjadi seorang atau kelompok masyarakat yang berdaya/
memiliki power selain uang, knowledge maka people juga mempunyai peranan yang
penting. Kumpulan orang akan memberikan kekuatan, kekuatan itu akan memberikan
power pada orang atau masyarakat itu.
6. Teori Constructivist
Glasersfeld (1987)
menyatakan konstruktivisme
sebagai “teori pengetahuan
dengan akar dalam
“filosofi, psikologi dan
cybernetics”. Von Glasersfeld
mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan.
Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu
hal yang dengan
aktip menerima yang
apapun melalui pikiran
sehat atau melalui
komunikasi. Hal itu secara aktip
tertuama dengan membangun
pengetahuan. Kognisi adalah adaptif
dan membiarkan sesuatu
untuk mengorganisir pengalaman
dunia itu, bukan untuk menemukan
suatu tujuan kenyataan.Konstruktivisme
pada dasarnya adalah
suatu pandangan yang didasarkan
pada aktivitas siswa
dengan untuk menciptakan,
menginterpretasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan
dengan jalan individual (Windschitl, dalam
Abbeduto, 2004).
Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan
teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme
lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamannya. Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar
yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan
dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar
juga dinilai penting.
Pada
proses pemberdayaan masyarakat pendekatan teori belajar secara konstructivisme
perlu di tanamkan dan diupayakan agar masyarakat mampu menkonstruksi pemahaman
untuk berubah. Pemberdayaan masyarakat hendaknya tetap mempertahankan
nilai-nilai yang sudah melekat di masyarakat selam nilai tersebut baik dan
benar. Nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, gotong-royong, kejujuran, kerja keras
harus di bangun dan di konstruksikan sendiri oleh masyarakat untuk menciptakan
perubahan agar lebih berdaya. Keterkaitan dengan konsep pemberdayaan maka aspek
ilmu (knowledge) yang ada di dalam masyarakat perlu dibangun dengan kuat dan di
kontruksikan di dalam masyarakat itu sendiri.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tentang konsep dan teory
pemberdayaan maka disimpulkan sebagai berikut:
- Konsep pemberdayaan adalah sebuah proses berkelanjutan yang mengupayakan transfer kekuasaan yang didasari penguatan modal social Kepercayaan (trusts), Patuh Aturan (role), dan Jaringan (networking)), disambut partisipasi dan komunikasi aktif dengan metode bottom-up yang dilandasi sikap saling percaya dari masyarakat untuk mengubah dan mementukan nasibnya untuk pencapaian suatu tujuan tertentu (kesejahteraan ekonomi).
- Teori pemberdayaan adalah Sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis melalui pengkhususan hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan dan meramalkan/menduga suatu poses pemberdayaan di dalam masyarakat.
- Teori pemberdayaan masyarakat yang digunakan dalam proses pemberdayan antara lain:
- Teori Ketergantungan Kekuasaan
- Teori Sistem
- Teori Ekologi
- Teori Konflik
- Teori Mobilisasi Sumberdaya
- Teori Konstruktivisme
DAFTAR
REFERENSI
1.
Abbeduto,
Leonard. 2004. Taking
Sides: Clashing Views
on Controversial Issues
in Educational Psychology Third Edition. McGraw-Hill, Dushkin.
2.
Adedokun, O.M. C.W, Adeyamo, and E.O.
Olorunsula. 2010. The Impact of Communication on Community Development. J
Communication, 1(2): 101-105.
3.
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah Masalah,
Pemberdayaan dan Konflik. Penebar Swadaya. Cetakan pertama. Jakarta.
4.
Chambers, R. 1985. Rural Development : Putting
The Last First. London ; New York.
5.
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Ketiga, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
6.
Foy, Nancy. 1994. Empowering People at Work,
London: Grower Publishing Company.
7.
Friedman, John. 1992. Empowerment The Politics
of Alternative Development. Blackwell Publishers, Cambridge, USA.
8.
Glasserfield, E. (1987). A Constructivist
Approach to Teaching. In L. Steffe & J. Gale (Eds.), Constructivism In
Education. Hillsdale, NJ, Lawrence Erlbaum. (pp. 3-16).
9.
Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating
Community Alternatives-vision, Analysiis and Practice. Melbourne : Longman.
10.
Jasper, James M. 2010. Social Movement
Theory Today: Toward
a Theory of
Action?. Sociology Compass 4/11 (2010): pp.,965-976,
10.1111/j.9020.2010.000329.x,.New York: Graduate Center of the City University
of New York.
11.
Jimu, M.I. 2008. Community Development.
Community Development:A Cross-Examination of Theory and Practice Using
Experiences in Rural Malawi. Africa Development,Vol. XXXIII, No. 2, 2008, pp.
23–3.
12.
Koentjaraningrat. 2009: Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia. Djambangan. Jakarta. Longman.
13.
Lubis, Hari & Huseini, Martani. 1987. Teori
Organisasi; Suatu Pendekatan Makro. Pusat Antar Ilmu-ilmu Sosial UI: Jakarta.
14.
Mubarak, Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan
Masyarakat Ditinjau Dari Proses Pengembangan Kapasitas Pada Program PNPM
Mandiri Perkotaan Di Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan. Tesis. Program
Studi Magister Teknik Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip. Semarang.
15.
Pearsons, Talcot. 1991. The Social System.
Routledge is an imprint of Taylor & Francis, an informa company.
16.
Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.).
1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for
Strategic and International Studies
(CSIS).
17.
Rusmanto, Joni. 2013. Gerakan Sosial Sejarah
Perkembangan Teori Kekuatan dan Kelemahannya. Zifatama Publishing. Sidoarjo.
18.
Sadan, Elisheva. 1997. Empowerment and Community
Planning: Theory and Practice of People-Focused Social Solutions. Tel Aviv:
Hakibbutz Hameuchad Publishers.in Hebrew. [e-book].
19.
Shucksmith, Mark. 2013. Future Direction in
Rural Development. Carnegie UK Trust. England.
20.
Sipahelut, Michel. 2010. Analisis Pemberdayaan
Masyarakat Nelayan Di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. Tesis. IPB.
Bogor.
21.
Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan
Masyarakat, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
22.
Suharto
E. 2005. Membangun
Masyarakat Memberdayakan Rakyat.
Kajian Strategi Pembangunan
Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
23.
Sukmaniar. 2007. Efektivitas Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Pengelolaan Program Pengembangan Kecamatan (Ppk) Pasca Tsunami Dikecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Tesis. UNDIP. Semarang.
24.
Wilson, Terry. 1996. The Empowerment Mannual,
London: Grower Publishing Company.