Karakter Kepemimpinan Kristiani

0 comments


Pengantar
Berbicara mengenai kepemimpinan, yang terpikirkan oleh saya bukan hanya menyangkut pemimpin melainkan juga yang dipimpin. Kedua pihak ini mesti saling pro-aktif. Walaupun pemimpin begitu ideal, namun jika orang yang dipimpin tidak pro-aktif, sia-sialah sebuah organisasi: tidak lancar/tidak hidup. Namun, dalam artikel ini, saya hanya memfokuskan diri pada karakter seorang pemimpin.

Menurut Max de Pree (tokoh manajemen kepemimpinan), pemimpin pertama-tama dipahami bukan sebagai jabatan (privilege) melainkan sebagai pekerjaan/tanggung jawab/responsibility (dan menurut saya sebagai pelayanan). Artinya, tugas seorang pemimpin adalah berusaha memberdayakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka kerjakan dengan cara yang paling efektif dan manusiawi. Pekerjaan menjadi efektif jika ada framework (kerangka kerja) yang akan dikerjakan. Seseorang melakukan hal yang manusiawi jika apa yang mereka lakukan selalu dalam koridor moral dan ajaran iman.

Bahan inspirasi utama penulis saat menulis artikel ini adalah kepemimpinan Yesus. Saya tidak mau lari dari situ. Sebab, kepemimpinan Kristiani selalu berpegang teguh pada ajaran dan keteladanan Yesus. Dan kita sebagai pengikut-Nya mesti menempatkan diri sebagai pengikut Kristus sejati (imitatio christi). Ada beberapa karakter kepemimpinan yang mestinya kita, sebagai umat Kristen, mempraktekkannya dalam hidup keseharian kita, antara lain:

1. Pendoa
Sebelum membuat keputusan penting, Yesus berdoa terlebih dahulu. “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana (Mrk. 1: 35). Yesus pergi ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul (Luk. 6: 12-13).

Yesus begitu intim dengan Allah. Maka, apapun yang Ia lakukan selalu sesuai dengan kehendak Bapa-Nya. Seorang pemimpin mesti beguru pada sikap Yesus. Modal utama pemimpin dalam merealisasikan (mewujudkan) tanggung jawabnya serta visi dan misinya adalah kekuatan doa (daya spiritual). Kesatuan pemimpin dengan Allah, menjadi semangat yang berkobar untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Bahkan menjadi sumber kebijaksanaan pemimpin dalam mengemban tugasnya.

2. Pelayan
Yesus pernah bersabda: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk. 10: 42-45). Pemimpin yang memiliki jiwa pelayan selalu berusaha mengambil keputusan yang mengarah pada bonum commune (kebaikan/keuntungan bersama) dan bukan semata-mata demi mencapai bonum private (keuntungan pribadi). Yesus menggunakan istilah pelayan itu berarti pemimpin adalah bukan tipe Nato (no action talk only). Pemimpin adalah orang yang mau bertindak dan menyadari tanggung jawabnya.

Dan, yang patut diperhatikan oleh pemimpin adalah kata-kata bijak dari Ken Blanchard: “Semua pemimpin yang berjuang untuk menghasilkan hal-hal baik harus dapat mengeluarkan yang terbaik dari dalam dirinya dan orang lain. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam diri, yakni melalui hati yang mau melayani, lalu keluar untuk melayani orang lain.”

3. Memiliki responsibility (bertanggung jawab)
Responsibility berasal dari dua kata. Response: tanggapan, tindakan, jawaban. Ability: kemampuan, kesanggupan. Jadi, responsibility adalah kemampuan bertindak, kesanggupan menanggapi. Seorang pemimpin harus memiliki kepekaan pada tanggung jawabnya. Tanggung jawab adalah semangat hidup seorang pemimpin. Dalam Kitab Suci, kita sering mendengar: jika kita bisa menyelesaikan perkara kecil maka kepada kita akan dipercayakan untuk melakukan pekerjaan besar (minora servabis, mayora te servabit). Lancar atau tidaknya sebuah organisasi tergantung pada kesadaran pemimpin akan tanggung-jawabnya. Oleh karena itulah, dalam mengemban dan merealisasikan tanggung-jawabnya, seorang pemimpin mesti bersikap persuasif. Pemimpin berusaha untuk tidak meluki hati siapapun.

4. Teladan
Yesus adalah teladan yang baik. Maka Ia disegani. Pengaruh-Nya luar biasa sehingga orang Farisi “membenci Yesus”. Kata-kata Yesus banyak yang mendengarkan ketimbang kata-kata orang Farisi. Mengapa, kata-kata Yesus “berbisa”? Karena Dia selalu menerapkan semangat Truth-telling : mengatakan benar jika benar, mengatakan salah jika salah. Mengatakan baik jika baik dan mengatakan tidak baik jika tidak baik. Sikap radikal Yesus inilah yang menjadikan Dia memiliki pengaruh dan pengikut. Artinya, Yesus memiliki kualitas hidup yang baik yang patut diteladani.

Seorang pemimpin harus menunjukkan dirinya (show up bukan show off) sebagai pribadi yang patut diteladani melalui: tutur kata, sikap, tindakan, dan cara hidup.
Yesus menunjukkan keteladanan kepemimpinan-Nya dengan jalan:
a. menjadi panutan, memberikan teladan kehidupan (yakni semangat pelayanan) ketimbang memberikan perintah dan aturan-aturan yang memaksa.
b. Menjadikan diri dan kehidupan-Nya sebagai teladan moralitas. Tidak ada kesalahan dan kejahatan dalam hidup/diri-Nya
c. Transparan: semua orang dapat menilai dan mengalisis diri-Nya. Yesus juga tidak berbicara dengan sembunyi-sembunyi melainkan dengan lantang menyuarakan kebenaran dan kebaikan berdasarkan iman akan Bapa-Nya.

Seorang pemimpin harus menunjukkan teladan yan baik dan kemudian melatih orang lain untuk mengikutinya. Itulah yang diterapkan oleh Yesus kepada para muridNya. Maka, kita yang berprofesi sebagai pemimpin harus mampu melatih orang lain untuk menjadi pemimpin yang handal dan yang sadar akan tanggung jawabnya.

5. Pemersatu
Yesus mencari dombanya yang hilang, walau hanya seekor. Ini adalah jiwa kepemimpinan: mencari orang yang menarik diri dari komunitasnya. Yesus mempersatukan domba yang terpisah dari komunitasnya. Sebagai seorang pemimpin harus berusaha mempersatukan orang-orang yang ia pimpin/tuntun. Pemimpin adalah pribadi yang berperan sebagai mediator, navigator dan problem solver (pemecah masalah). Pemimpin berusaha mengurangi masalah (yang membuat orang tidak bersatu) dan bukan menambah masalah ( trouble/problem maker).

6. Rendah hati
Pemimpin yang menempatkan dirinya sebagai pelayan berarti dia memiliki semangat yang rendah hati. Ia juga tidak hanya berkata: sungai itu kotor melainkan ia mau membersihkan sungai tersebut. Orang yang rendah hati adalah orang yang mau “turun” langsung melihat realitas/kenyataan hidup. Dalam Flp. 2: 5-11, di situ ditampilkan semangat Yesus yang sangat rendah hati. Yesus tidak sombong dengan kesalehan hidup-Nya atau karena Dia Allah. Kerendahan hati seorang pemimpin tampak juga dalam sikapnya yang mau mendengar kritik dari orang lain. Mau memperbaharui diri. Dia tidak menempatkan diri sebagai superior tetapi sebagai socius (teman/sahabat) yang solider.

7. Self-critical (introspeksi)
zaman sekarang yang diharapkan dari setiap pemimpin adalah kemampuan dan kesediaannya untuk melakukan pemeriksaan batin: apakah kepemimpinannya mengarah pada jalur yang baik dan benar. Seorang pemimpin haru bersedia mengoreksi dirinya sendiri. Ia mesti memeriksa batinnya apakah semangat kepemimpinannya sesuai dengan semangat kepemimpinan Yesus atau jangan-jangan hanya didasari oleh semangat egoisme dirinya sendiri.

8. Visioner dan inisiator
Pemimpin harus memiliki kepekaan untuk melihat visi yang tepat demi kelancaran kepemimpinannya. Seorang pemimpin mesti idealnya adalah pribadi yang visioner. Dalam arti, mampu membaca dan merespons tanda-tanda zaman secara bijaksana. Selain itu, ia mampu melihat yang lebih baik dan penting bagi kelancaran organisasinya. Hal ini memang membutuhkan daya kepekaan. Tanpa kepekaan seorang pemimpin tidak mampu bertindak sebagai inisiator. Pemimpin tidak semata-mata berfungsi sebagai to lead (memimpin) tetapi sekaligus to manage (mengatur/mengurus) dalam arti ia bersedia mendelegasikan kepemimpinan kepada bawahannya.

9. Profesional
Seorang pemimpin dianggap professional jika ia membatinkan 8 etos kerja professional. Menjalankan kepemimpinannya penuh syukur dan ketulusan/keikhlasan hati.
  1. Menjalankan kepemimpinannya dengan benar, penuh tanggung jawab dan akuntabilitas
  2. Bekerja sampai tuntas, penuh kejujuran dan keterbukaan
  3. Menjalankan kepemimpinannya penuh daya optimisme dan antusiasme.
  4. Bekerja serius penuh kecintaan dan sukacita
  5. Kreatif serta inovatif dalam menjalankan tugasnya.
  6. Bekerja secara tekun, berkualitas dan unggul
  7. Bekerja dengan dilandasi kebajikan dan kerendahan hati.

10. Tegas
Seorang pemimpin tidak boleh plin-plan. Dia harus tegas sekaligus bijak dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin mesti berani memutuskan apapun resikonya. Figur pemimpin semacam ini idealnya mesti memiliki self-confidence (kepercayaan diri) yang tinggi. Pemimpin yang tak memiliki self-confidence akan ragu-ragu memutuskan hal-hal yang urgen. Ini bahaya. Yesus, berani memutuslan untuk berpihak pada kaum pendosa, sakit, dan miskin walaupun nyawa-Nya melayang. Yesus sadar, setiap keputusan pasti ada konsekuensi, entah negatif atau positif. Artinya, Yesus mampu menguasai keadaan dan tidak dikuasai oleh keadaan. Nah, seorang pemimpin jangan sampai berani memberi keputusan setelah ada desakan/paksaan. Itu berarti pemimpin tersebut dikuasai oleh keadaan.

Penutup
Seorang pemimpin adalah seorang pelayan yang memiliki pengaruh. Pengaruhnya terpancar dari karakter-karakter yang ia miliki. Pemimpin yang memiliki karakter seperti di atas, saya yakin, kepemimpinannya akan bermuara pada bonum commune dan semangat iman akan kepemimpinan Kristus.

Pertanyaan Reflektif
1. Apa kendala yang paling sering Anda alami ketika Anda menjadi seorang pemimpin?
2. Masalah apa yang sering terjadi dalam kepengurusan Mudika?
3. Apa saja karakter/sifat/cara hidup Anda yang telah Anda terapkan dalam kepemimpinan Anda selama ini?
4. Seberapa sering Anda meminta pertolongan Allah dalam kepemimpinan Anda?
5. Mengapa sulit sekali kita menemukan seorang pemimpin yang memiliki karakter semacam ini?

Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri

0 comments

Alam takambang jadi guru” adalah sebuah falsafah hidup orang Minangkabau dan judul buku Almarhum A.A Navis sampai saat ini tetap tidak lapuk karena hujan dan lekang karena panas. Filsafat ini tetap bisa jadi pijakan hidup kita sebagai orang tua dalam kehidupan dalam masyarakat. Sekaligus filsafat ini mengajak kita untuk peka dan bercermin atas peristiwa-peristiwa yang ada di seputar hidup kita.
Sudah menjadi kecendrungan dari keluarga sekarang sekarang untuk memiliki jumlah anak yang lebih kecil daripada keluarga yang lebih senior usianya.Kita perlu untuk berterima kasih atas program KB yang sudah lama diluncurkan oleh pemerintah. Kalau begitu apakah anak-anak dari keluarga kecil hidup lebih beruntung dibandingkan dengan anak-anak dahulu dari keluarga besar (?). Dari segi pertumbuhan biologi bisa dijawab “ya” karena keluarga kecil bisa menyediakan kebutuhan bahan sandang dan pangan yang lebih baik. Tetapi dari segi pertumbuhan mental, emosional dan sosial ,pada sebagian keluarga kecil sekarang, perlu telaah lebih lanjut.
Dari pengalaman kita dapat melihat bahwa cukup banyak generasi muda sekarang yang hidup tanpa orientasi yang jelas, merasa masa depan mereka tidak pasti dan menjadi mudah frustasi. Kita juga dapat menemui banyak pemuda dan pemudi sekarang hidup kurang beruntung dibandingkan dengan orangtua mereka. Padahal tingkat pendidikan mereka rata-rata cenderung lebih tinggi. Tetapi mengapa mereka tampak tidak berdaya, cendrung santai, menganggur karena terbatasnya lowongan kerja yang sudah menjadi alasan klasik.
Kecendrungan kelurga dulu dengan anak banyak membuat mereka harus banting tulang untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang jumlahnya lebih besar. Malah sebagai implikasi, kadang-kadang, anak-anak pun wajib bekerja untuk meringankan beban keluarga. Keluarga senior dengan jumlah anak yang agak banyak hampir-hampir tidak punya waktu untuk “mencikaraui”, ikut campur dalam urusan pribadi anak-anak mereka.
Kecendrungan anak-anak dari keluarga besar adalah mereka mengalami dan memiliki pertumbuhan sosial dan emosional yang lebih baik daripada sebagian anak-anak keluarga kecil. Mereka sejak usia dini sudah dilepas oleh ayah-ibu yang juga sibuk untuk mencari nafkah untuk ikut mengembara, melakukan eksplorasi atau penjelajahan, bersama kakak dan teman-teman mereka.
Sejak usia dini mereka sudah memiliki segudang pengalaman hidup lewat peristiwa demi peristiwa sosial. Suka duka pengalaman  sosial dari dunia bermain yang mereka alami . Mereka telah belajar untuk mengenal langsung tentang peran hidup untuk beradaptasi, berakomodasi, menerima dan mengalah dan kadang-kadang harus berkompetisi.
Keluarga Junior dengan jumlah anak yang hanya rata-rata 2 orang sebagian cendrung bersifat terlalu posesif sehingga punya kesan banyak “serbanya” yaitu serba melarang, serba melarang, serba membantu anak dan lain-lain. Sehingga terkesan menjadi serba memanjakan anak dan serba membelenggu kebebasan untuk berkresi , berekspressi dan melakukan kreatifitas. Sikap possesif keluarga junior ini agaknya didorong oleh rasa khawatir yang berlebihan. Khawatir atau takut anak terjatuh dan cedera. Sehingga semua gerak-gerik anak selalu diawasi dan dicemasi. Hal ini membuat anak menjadi serba ditolong dan serba dilindungi. Akibatnya anak kurang aktif dan kreatif dan kurang melaksanakan ekplorasi dalam dunianya ini berarti anak akan miskin dengan pengalaman hidup.
Anak yang kekurangan pengalaman hidup karena telalu banyak dilindungi , ibarat telapak kaki yang terlalu banyak dilindungi oleh sepatu menjadi amat tipis dan susah melangkah diatas kerikil-kerikil. Hidup di dunia memang penuh dengan benturan-benturan kecil sampai dengan benturan-benturan besar sebagai kerikil kehidupan.
Disini tidak ada kecendrungan kita untuk mengatakan bahwa keluarga senior atau keluarga dengan banyak anak jauh lebih baik. Namun disini tersirat sebuah penekanan bahwa orang tua dati keluarga kecil, sebagai keluarga berencana, perlu untuk menjadi arif dan lebih matang dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Mereka perlu untuk selalu menimba ilmu dari buku dan pengalaman hidup, malah kalau perlu menimba pengalaman hidup, mendidik anak, dari keluarga senior tadi.
David J.Scwart (dalam bukunya The magic of thinking big; 1996) mengatakan bahwa lingkungan dan orang-orang di sekeliling kita adalah ibarat laboratorium kemanusiaan . Kita adalah sebagai ahli untuk labor tadi. Kita dapat mengamati dan menganalisa mengapa seseorang bisa punya banyak teman atau sedikit teman, berhasil atau gagal atau biasa-biasa saja. Kita pun kemudian dapat memilih tiga orang yang berhasil dan tiga orang yang gagal dan kemudian menganalisa dan membandingkan kenapa mereka bisa demikian. Hasil pengamatan dan penelitian tadi bisa menjadi pengalaman berharga bagi kita.
Sebagai orangtua, kita perlu bersikap arif dan bijaksana dalam  mendidik dan memebesarkan anak. Kita harus punya konsep tentang bagaimana menjadi orangtua yang ideal  bagi mereka termasuk dalam hal megurus dan mengarahkan pendidikan mereka.
Bagaimana orang tua menyikapi anak yang lulus dan mencari sekolah untuk pendidikan  selanjutnya. Sebagai contoh, cukup banyak anak-anak lulusan dari SLTA yang tidak tahu hendak kemana  pergi setelah itu. Kemana atau apa yang akan dilakukan setelah lulus dari SMA merupakan salah satu titik penting dalam kehidupan seseorang. Pada saat itulah tahap awal kedewasaan seseorang dimulai. Keputusan tentang langkah apa yang akan diambil memeberikan pengaruh besar terhadap kehidupan selanjutnya.
Penting untuk diingat bahwa setiap anak perlu memiliki suatu cita-cita atau tujuan spesifik yang menjadi arah dari apa yang ingin untuk dicapaianya. Namun dalam kenyataan adalah cukup banyak anak-anak ,lulusan SMA, yang kebingungan karena tidak punya cita-cita dan berfikir “harus mengapa setelah ini”.
Kebingungan  bersumber dari kurangnya pengenalan minat dan kemampuan diri. Tentu saja ini akibat dari miskin atau kurangnya pengetahuan dan wawasan , kurangnya persiapan intelektual dan kurang mengenal pribadi sendiri. Kekurangan-kekurangan ini ,seperti yang telah dijelaskan, disebabkan oleh minimnya pengalaman ekplorasi dan jati diri. Penyebab lain adalah karena tidak terbiasa dengan budaya belajar dan hidup yang mandiri.
Tidak punya cita-cita dalam hidup dan kurang mengenal potensi diri adalah efek negatif dari kurang ekplorasi dan kurang punya jati diri. Untuk mengantisipasi yang demikian maka orangtua dan anak perlu untuk mengembankan dunia jelajahnya atau ekplorasi sejak dini. Setiap anak seharusnya punya banyak pengalaman, sesuai dengan konsep kepintaran berganda,punya pengalaman berteman dan berkomunikasi dengan banyak orang, banyak mengenal tempat lain, mengenal seni dan olah raga, memahami dan mengamalkan agama, berpengalaman dalam menguasai emosi sendiri dan lain-lain.
Anak-anak yang rajin diajak oleh orangtua ke berbagai tempat profesi seperti bank, universitas, pabrik, bandar udara, pusat pelatihan komputer dan lain-lain akan memiliki segudang cita-cita dibandingkan dengan anak anak yang banyak mengurung diri di seputar rumah saja.
Untuk membebaskan anak dari kebingungan  dan tanpa cita-cita dalam hidup  maka orangtua bertanggungjawab untuk menanamkam ,dan sekaligus memberi contoh tentang, budaya gemar belajar dan hidup mandiri sedini mungkin. Orangtua perlu untuk menyisihkan sedikit dana dan melowongkan waktu untuk keperluan belajar anak di rumah dan memberi contoh langsung tentang betapa pentingnya memebaca, belajar yang banyak dan pintar dalam membagi waktu dan pintar berkomunikasi dengan banyak orang. Selain itu orangtua perlu mendukung anak untuk mengembangkan hobi dan bersikap kreatif dalam hidup. Orangtua perlu memberi anak kebebasan untuk mencoba dan mengurangi sikap yang terlalu possesif dan over-protektif (terlalu melindungi) yang tercermin dalam sikap yang banyak serba membantu dan serba melarang anak. Di waktu lowong anak (dan orang tua) perlu untuk rekreasi yang lebih bersifat edukatif.
Anak-anak dengan pribadi yang berimbang antara intelektual, emosional dan spiritual serta kreatif dan mandiri adalah anak yang sangat kita harapkan. Untuk mewujudkan ini maka kita perlu untuk menanamkan budaya gemar belajar dan hidup mandiri dalam rumah tangga sejak dini.

Kita jarang belajar dari pengalaman

0 comments

Itulah KITA , kadang sulit belajar dari pengalaman. Dan kadang pengalaman buruk itu tetap terjadi dari masa ke masa, dan kadang dimaklumi.
Demikian itu terjadi pada diri saya dan lingkungan kita. Terkadang kita terlalu pakem dengan keadaan-keadaan sebelumnya sehingga kita tidak mengalami peningkatan. Mencontoh boleh saja tetapi lebih kreatif adalah yang terbaik.
Belajar dari pengalaman selalu tidak ada artinya dan alasan setiap saat selalu menjadi alasan berulang yang sudah bosan untuk diterangkan.

Ada beberapa hal kita jarang belajar dari pengalaman antara lain:
  1. Kita selalu belajar melalui proses yang sama sehingga tidak ada perkembangan dan melalui jalur yang sama dan kendala yang sama
  2. Kita jarang untuk berfikir kreatif, sehingga jalan-jalan konvensional selalu menjadi jalan yang dirasa mudah
  3. Kadang kita sulit keluar dari batas kenyamanan, sehingga kita tidak mengetahui dengan tentang dunia di luar kenyamanan kita
  4. Pengaruh orang-orang disekitar kita yang selalu berpandangan yang dulu itu seperti ini dan seperti itu, sehingga peran orang-orang yang berpengalaman menjadi kunci utama padahal kita harus menyadari perlu evaluasi dari pengalaman itu, apatah masih bisa digunakan.
  5. Kita kurang sensitif alias kurang peka terhadap permasalahan yang ada dan bahkan mempermudah keadaan-keadaan yang ada sehingga menganggap biasa perilaku-perilaku yang seharusnya kita dapat belajar dari pengalaman.

BELAJAR DARI PENGALAMAN

0 comments

Semua yang terlewat masih bisa diantisipasi, kecuali satu hal, yaitu waktu. Begitulah, waktu tidak bisa bereproduksi, memanjang, berhenti, atau kembali. Waktu hanya bisa berjalan lurus ke depan.
Ilustrasi-ilustrasi tentang waktu di bawah ini tidaklah berlebihan sama sekali.
  1. Jika Anda ingin mengetahui berapa nilai waktu satu tahun, bertanyalah kepada seorang siswa yang tidak lulus dalam Ujian Akhir Nasional.
  2. Jika Anda ingin mengetahui berapa nilai waktu satu bulan, bertanyalah kepada seoarang ibu yang melahirkan anaknya secara prematur.
  3. Jika Anda ingin mengetahui berapa nilai waktu satu minggu, bertanyalah kepada pemimpin redaksi sebuah majalah mingguan.
  4. Jika Anda ingin mengetahui berapa nilai waktu satu hari, bertanyalah kepada seorang karyawan harian yang menghidupi sepuluh orang anak.
  5. Jika Anda ingin mengetahui berapa nilai waktu satu jam, bertanyalah kepada seorang karyawan pabrik yang memiliki produktifitas tinggi.
  6. Jika Anda ingin mengetahui berapa nilai waktu satu menit, bertanyalah kepada seseorang yang ketinggalan pesawat terbang.
  7. Jika Anda ingin mengetahui berapa nilai waktu satu detik, bertanyalah kepada seseorang yang selamat dari kematian di depan mata.
  8. Jika Anda ingin mengetahui berapa nilai waktu setengah detik, bertanyalah kepada seseorang yang meraih medali perak pada sebuah pertandingan olahraga.
Sumber: Basel Syaikhu, Lubang pada Tembok Akal, Cetakan I, Aulia Press, Solo, Februari 2007.

BERSAING DALAM KEBERSAMAAN

0 comments


Di era 80-an, mungkin bagi anda yang se-generasi dengan saya, tentunya pernah merasa asyik dengan lagu-lagu grup band terkenal dari Inggris bernama Queen. Ada satu lagu dari grup ini yang juga cukup dikenal dan mudah akrab ditelinga berjudul “Hammer to Fall”. Sebuah lagu yang mencoba menceritakan kepada kita sebuah pendapat bahwa hidup ini tak ubahnya seberti sebuah palu yang diketok. Artinya apa pun yang terjadi kepada kita seperti sebuah misteri yang diputuskan oleh sebuah kekuatan yang maha besar, dan ketika itu semua sudah diputuskan, maka tak ada yang bisa kita lakukan.

Saya sendiri tidak begitu setuju dengan bung Freddy Mercury, atas pendapatnya dalam lagu ini. Namun kurang lebih semangat dalam lagu ini seperti apa yang coba saya gambarkan ketika melihat ‘Menjadi Pemenang’ pada iklim ‘kebersamaan’. Kita coba hilangkan dulu penilaian akan negatif maupun positif, atau benar-salahnya. Kita coba melihat apa adanya, bagaimana sebuah semangat Menjadi Pemenang dalam iklim kebersamaan.

Ada sebuah pendapat yang mengatakan segala apa yang terjadi pada kita adalah takdir. Mungkin juga hal itu bisa menjadi pendekatan terjemahan bebas dari ‘palu diketok’ pada ‘Hammer to Fall’. Kebersamaan yang melihat bahwa kita manusia diciptakan secara sama, dan harus bersama-sama menanggung segala hal yang menimpa kita. Setiap bentuk tantangan selalu didahului tengok kanan tengok kiri melihat respon orang-orang di sekitar kita untuk pengatasannya. Sehingga ketika respon terhadap masalah itu sudah dilakukan, yang terjadi kemudian, baik buruk, menjadi pemenang atau tidak lebih disikapi sebagai takdir yang harus kita terima sebagai keputusan terhadap kita. Sebuah ‘hammer to fall’ untuk diri kita masing-masing.  
Sehingga gegap gempita motivasi yang membakar semangat mengajak seseorang menjadi pemenang, akan dilihat bagi orang yang ‘masih’ berada pada iklim kebersamaan, sebagai sebuah upaya yang dianggap terlalu mengada-ada. Lalu bagaimana?

Gegap gempita ajakan ‘menjadi pemenang’ bagi orang yang berparadigma bahwa kita berada pada iklim melulu persaingan, tentunya akan menumbuhkan semangat pada dirinya untuk semakin ‘mengalahkan’ orang lain, atau kalau tidak mungkin, justru berusaha menipu diri sendiri bahwa dia telah mengalahkan orang lain. Seperti kisah seorang tua yang memberikan piala palsu kepada anaknya pada artikel saya terdahulu.

Sementara di telinga orang yang melihat hanya pada iklim kebersamaan. Motivasi ‘menjadi pemenang’ yang membakar seperti apa pun akan disikapi dengan dingin. ‘Masih banyak orang yang bernasib lebih buruk dari saya..’ mungkin begitu respon dalam hati orang ini.  
Sehingga bagi saya, ajakan menjadi pemenang seharusnya diawali dengan sebuah upaya untuk masing-masing mengenali paradigma dalam diri, apa yang saat ini mereka lihat dalam iklim kehidupan mereka. Apakah mereka melihat bahwa hidup ini adalah sebuah persaingan, atau hidup ini tak lain ‘hanyalah’ sebuah “hammer to fall”.

Sehingga ketika masing masing dari kita bisa mengenali diri sendiri atas apa yang kita lihat dalam kehidupan ini. Yang dilakukan kemudian akan sangat tergantung dari masing-masing individu dalam kita memacu kemauan diri kita sendiri. Dan hal itu akan mengkutub kepada dua hal yaitu, apakah kita akan menyemangati diri kita untuk mau bersaing dengan sesama, bagi mereka yang melihat bahwa kita berada pada iklim kebersamaan, atau kita harus mendidik diri kita untuk memupuk rasa kebersamaan bagi yang merasa memiliki mental scarcity mentality.

Pilihan Menjadi Pemenang, yang akan mengarahkan diri kita sebagai orang yang mampu bersaing dalam kebersamaan, atau orang yang bisa hidup bersama dalam suasana persaingan. Dan pilihan mana yang sebaiknya, akan sangat tergantung justru kepada kemampuan kita melihat dan memahami diri kita sendiri. Bukan tergantung pada seberapa pandai dan hebat sang motivator membakar semangat kita untuk Menjadi Pemenang...